Senin, 12 Maret 2012

The Last Pure-Blood Vampire || The Forbiden Experiment part 2

Author : Haru Yamada .

Genre : Vampire .

CAST : Runacathra Fukuzawa As Yamashita Haruna .
             Seihan Kojichiru As Melinda Anindya .
             Miura Udagaki as Yabu Kouta ,
             Riiku Fukuzawa as Sakurai Sho .
             Yamada Ryosuke as Himself .
             Merlion Jurotsuchi as Chinen Yuri .
             Rolfer Yamada as Keito Okamoto .
             Mariya Matjishi as Nishiuchi Mariya


"Runa , ku kira kau tega membunuhnya. Hah, syukurlah," gumam Sean lega saat menyadari moncong pistol tidak di kepala Mariya lagi. Melainkan ke arah perbatasan hutan Sorrowforest di dekat asrama Hunter.

Wajah Runa tetap kaku dan terlihat jelas ia marah. Ia menatap tajam ke arah perbatasan dimana seorang gadis tergeletak di tanah dengan seorang vampir terduduk di dekat gadis itu sambil memegangi lengan yang nampaknya terkena peluru. Ia berlari dengan cepat sambil menembakkan peluru kedua, tapi meleset.

"Sial," umpatnya kesal. Ia segera menghampiri gadis berambut pirang yang ia kenal. Gadis itu tergeletak tak berdaya di atas tanah.

"Seihan," panggilnya pelan. Ia menatap seihan dengan cemas. Ia menegakkan kepala Seihan dan melihat lehernya. Terlambat. Seihan sudah digigit. Darah masih mengalir dari lubang bekas gigitan vampir itu. Runa segera memeriksa nadinya di leher Seihan. Masih berdenyut tapi lemah.

Rave dan Sean masih terpaku dengan apa yang mereka lihat. Rave tersadar lebih dulu dan segera mengejar Runa. Disusul kemudian Sean. Sementara Mariya masih berdiri tak bergerak karena shock.

"Ah, ya ampun. Kepala...kepalaku masih utuh, ah, aku takut sekali. Argh! Dia gila, ibu!" celoteh Mariya tak jelas. Ia sibuk memegangi kepalanya tanpa menyadari Rave dan Sean sudah pergi.

"Runa," panggil Rave. Runa menoleh. Ia menatap Rave dengan air mata yang menganak sungai di pipinya. "R-rrave..ban-tu aku. A-antar Seihan ke rumah sakit." Rave terhenyak kaget melihat Runa begitu terguncang. Ia tidak pernah melihat Runa seperti ini. Tak berdaya sama sekali. Ia jelas melihat tangan Runa bergetar. Tapi sepertinya gadis itu berusaha tetap tegar melihat sahabatnya terluka.

"Tenanglah," kata Rave pelan. Ia menggenggam tangan Runa yang bergetar hebat. Berusaha keras menenangkan gadis itu.

"Rave, tenangkan Runa. Biar aku yang bawa Seihan," kata Sean tiba-tiba. Ia langsung mengangkat tubuh Seihan dan membawanya menuju Horikoshi Hunter Hospital dengan tergesa-gesa. Wajahnya terlihat pucat. Jelas sekali kalau ia sangat cemas.

Rave mengernyit heran. Ia menatap punggung Sean dengan bingung. Kenapa Sean bersikap sepanik itu? Ia mengesampingkan masalah itu. Ia segera membantu Runa berdiri dan menuntunnya mengikuti Sean.

"Seihan akan baik-baik saja. Percayalah padaku, Runa."


§



Hunter 'ELF' Hospital, 11 p.m.


Runa dan Sean terus berjalan mondar mandir secara berlawanan. Runa melakukannya sambil menggigiti kukunya sedangkan Sean sambil mengacak-acak rambutnya. Mereka gelisah menunggu kabar dari dokter.

"Hei, kalian berdua jangan mondar mandir seperti itu. Kalian membuatku pusing," keluh Rave yang sejak awal hanya duduk melihat kedua temannya berjalan mondar mandir tak jelas.

"Maaf." Kata maaf dengan mudah diucapkan keduanya. Sean mengatakannya sambil mengangkat tangan kanannya sementara Runa sambil membungkuk sekilas. Rave berusaha keras menahan kekesalannya. Ia mulai memikirkan alasan penyerangan. Apa mungkin ada hubungannya dengan pelaku kejahatan yang menjadi buronan dalam misi yang baru didapatkan Runa?

"Runa, apa menurutmu penyerangan Seihan termasuk dalam misimu?" tanya Rave tiba-tiba. Ia menatap Runa sambil menyangga dagunya dengan kedua tangannya.

Runa berhenti mondar mandir. Begitu pula Sean. Ia menatap Rave dengan tatapan seolah berkata 'apa kau gila menanyakan hal itu di saat seperti ini'.

"Tidak, bukan pelaku kejahatan yang sama. Seihan tidak mempunyai golongan darah O. Dan waktu penyerangan berbeda. Pada saat inilah dia menyerang. Aku pasti menemukan vampir itu bagaimanapun caranya," kata Runa menjelaskan jawabannya.

"Bagaimana caranya?" tanya Sean entah pada siapa.

"Setahuku pelakunya terkena tembakanmu, Runa. Kalau tidak salah di lengan kanan," jawab Rave.

"Ya, luka itu tidak akan hilang. Anggap saja itu penanda pelakunya," tambah Runa.

"Kalau pelakunya tertangkap, beritahu aku. Aku akan mematahkan lehernya," sahut Sean.

Runa menatap Sean dengan tajam. Ia memberikan tatapan curiga yang benar-benar mencolok. Rave yang melihatnya pun ikut penasan. Ia yakin pertanyaan yang mengganggunya tadi akan segera terjawab.

"Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang aneh?" tanya Sean pada akhirnya. Ia merasa tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Runa.

"Ya. Ada yang aneh," tandas Runa tetap dengan tatapan tajamnya.

"Apa?" tanya Sean.

"Kau!"

"Hah?" Sean melotot pada Runa. Ia tak mengerti kenapa Runa menuduhnya bersikap aneh. "Apa yang aneh padaku? Aku merasa baik-baik saja."

"Kau! Sejak kapan kau kenal Seihan ? Kenapa kau secemas ini pada keadaannya? " tuduh Runa sambil menunjuk-nunjuk Sean.

"Eh, itu, aku... Memangnya kenapa? Di-dia kan temanku," kata Sean dengan gugup.

Runa menyeringai licik. Sepertinya ia menyadari sesuatu. "Teman? Aku tidak pernah melihat kalian berbicara. Ah, apa kau tahu kalau dia punya pacar? "

"Hah! Siapa?" seru Sean cepat. Ia merasakan luka menggores hatinya begitu tahu kalau Seihan sudah mempunyai kekasih.

Runa tertawa kecil dan menepuk pundak Sean. "Baru calon pacar. Namanya Sean Kotatsuki. Nah, aku titip dia padamu. Aku mau pulang. Aku harus mempersiapkan barang-barang untuk misiku besok. Bye."

Sean masih melongo di tempat. Ia bingung dengan maksud Runa. Ia masih memproses kalimat Runa dengan kecepatan super lambat. Sementara Runa sudah menghilang di ujung koridor setelah berpamitan pada Rave dan meminta Rave menghubunginya kalau ada kabar tentang Seihan.

"Ca-lon pacar? Sean Kotatsuki? Ja-jadi Seihan...," ulang Sean dengan bingung. Sekian lama berpikir, ia baru menyadarinya. "Eh! Tunggu dulu! Sean Kotatsuki kan namaku!"

Rave yang melihat tingkah aneh Sean hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia heran kenapa dia bisa berteman baik dengan Sean yang super lemot ini. Ia segera berdiri dan menepuk pundak Sean sampai pemilik pundak menoleh.

"Kau memang bodoh. Aku pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi aku," kata Rave.

"Bodoh? Siapa?" Sean masih terserang penyakit lemotnya hingga ia begitu telat memproses apa kata Rave. Saat ia sudah menyadari apa maksud Rave, ia langsung berteriak kesal. "Rave! Aku tidak bodoh! Kau yang bodoh!"

"Tsutt! Jangan ribut!" Peringatan tajam dari para suster melengkapi kesialan Sean. Buru-buru ia menunduk meminta maaf.

"Sial, aku benar-benar sial hari ini," gumamnya kesal.


Fukuzawa's House, Orbitary Village, 2 a.m.


"Ru-chan, setiap hari kau harus menelepon ayah. Jangan lupa," kata Riiku.

Runa yang sedang membereskan pakaian untuk misinya hanya mengangguk samar. Ia bingung harus membawa baju jenis apa.

"Oya, Miura bilang kau akan tinggal bersama salah satu klan. Tapi dia tidak mengatakan dengan jelas klan mana," kata Riiku. Ia melihat-lihat barang bawaan Runa dengan penuh minat.

"Hem, aku dengar juga begitu. Udagaki Sensei bilang dia akan mengatakannya sebelum aku berangkat," sahut Runa. Ia kembali menimbang-nimbang dua benda di tangannya setelah mengatakan itu. Dua benda yang sama tingkat keanehannya. Seingatnya ia tak punya benda seperti itu. Setelah berpikir lama, akhirnya ia tak membawa keduanya. Ia sudah akan meletakkan kedua benda itu ke atas meja tapi ayahnya berteriak cukup keras.

"Jangan! Bawa benda itu!" Riiku menarik paksa kedua benda itu lalu memasukkannya ke dalam koper Runa.

"Ayah! Benda apa itu? Aku tidak membutuhkannya," sergah Runa.

"Tidak! Kau akan sangat membutuhkannya, Ru-chan."

"Untuk apa benda aneh itu?" tanya Runa dengan nada sarkatis.

"Biar ayah jelaskan. Pertama benda ini." Riku mengambil kembali benda menyerupai topi lebar yang tadi ia masukkan ke dalam koper Runa. Ia menunjukkan topi itu dengan penuh semangat pada Runa.

"Ini namanya Sun Protection Hat. Ini akan melindungimu dari sinar matahari saat kau menjadi vampir agar wajahmu tidak pucat."

Runa menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Ayah, sejak kapan vampir takut sinar matahari. Mereka cukup menyukainya karena mereka ingin kulit pucat. Yeah, walaupun hanya beberapa menit mereka terekspose sinar matahari secara langsung. Lagipula aku bisa mengenakan kacamata atau berlindung di dalam ruangan daripada mengenakan itu. Waktu penyelidikan yang ku gunakan adalah malam bukan siang. Mereka tidak beraktivitas banyak pada siang hari. So I don't need this, Dad."

Riku nampak kecewa walaupun apa yang dikatakan Runa benar. Tapi semangatnya kembali muncul saat menunjukkan benda lain berbentuk tongkat silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 3 cm. "Ah, bagaimana kalau benda yang satu ini. Namanya Attack Stick. Alat ini bisa mengalirkan listrik. Kau akan sangat membutuhkannya saat vampir menyerangmu saat tidur."

Runa berdecak kesal. Alat dari ayahnya sangat konyol. Bagaimana mungkin ada yang akan menyerangnya saat tidur? "Ayah, look at me and listen to me."

Runa menatap ayahnya dengan lembut. Ia menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "I can take care of myself. Aku akan baik-baik saja, ayah. TRUST ME." Runa menekankan kata-kata terakhirnya .

Riku terdiam. Ia tahu kalau Runa bisa menjaga dirinya sendiri. Namun ia tak bisa melepas Runa begitu saja ke kandang singa tanpa bantuan peralatan apapun. Ia tak tega dan tak rela melakukan hal itu.

"Ru-chan, kau tahu betapa ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Ayah hanya...."

"I know . Tapi percayalah padaku, ayah. I'm PROMISE , I'm gonna be fine ."

"Ya, aku percaya. Tapi tetap hubungi ayah kalau sesuatu terjadi padamu. Apapun itu." Runa tersenyum simpul. Ia memeluk ayahnya erat-erat. Mungkin ini akan menjadi pelukan terakhirnya dengan sang ayah sebelum akhirnya dia berubah.

Runa tahu kepergiannya besok akan terasa sangat berat. Di satu sisi, ia ingin mencari pelaku pembunuhan yang membuat heboh. Tapi di sisi lain, ia tak tega meninggalkan ayahnya sendirian. Walaupun selama ini ayahnya memang sendirian karena ia tinggal di asrama. Namun tetap saja berat baginya untuk meninggalkan ayahnya. Selain itu, Seihan masih sakit. Ia mengkhawatirkan sahabatanya itu. Walaupun Sean akan setia menjaga Seihan. Terakhir, ia tak akan bisa menatap wajah Rave yang selalu mengusik otaknya. Apa ia sanggup hidup jauh dari orang yang ia sayang?

§


Centerene Palace


Angin berhembus bebas di luar mansion utama Centerene Palace. Dedaunan kering beterbangan sampai di koridor luar mansion. Terkadang, angin berhembus kencang. Menggoyangkan pepohonan dan menabrak pintu geser hingga menimbulkan suara berisik. Berbeda dengan suasana hening di dalam sebuah ruangan mansion. Seorang wanita berambut hitam panjang duduk bersimpuh di samping tuannya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menunjukkan rasa hormatnya pada tuannya.

"Anda yakin akan melakukannya, Jiro-sama?" tanya Bianca-wanita berambut hitam itu dengan pelan. Ia masih menundukkan kepalanya dengan hormat.

"Apa kau meragukanku, Bian?" tanya Jiro dengan nada datar. Ia tidak melihat Bianca sedikitpun. Ia sibuk menyeduh teh hijau kesukaannya.

"Tidak. Tentu tidak, Jiro-sama. Maafkan saya karena telah lancang menanyakannya." Bianca semakin menundukkan wajahnya. Ia merasa sangat bersalah. Ia sama sekali tak bermaksud meragukan rencana tuannya. Ia hanya takut kalau takdir tidak berpihak pada klan Kurochiki. Ia takut kalau penerus klan yang selama ini mereka jaga akan berada dalam bahaya jika ada di tempat dimana dia seharusnya berada.

"Maaf atas kelancangan saya, Jiro-sama. Saya pantas mendapat hukuman," kata Bianca dengan penuh rasa hormat.

Jiro tersenyum sekilas. "Tidak apa-apa. Aku tahu kau mencemaskan dia. Aku tahu kau takut jika usaha kita selama ini akan sia-sia. Aku juga merasakan hal yang sama."

Bianca mendongakkan kepalanya dengan cepat karena kaget akan apa yang dikatakan Jiro. "Jiro-sama..."

"Tapi aku tetap percaya pada takdir seperti aku percaya pada kakakku sepenuhnya. Walaupun sering aku merasa kalau takdir sedang mengujiku. Tapi kata-kata kakak membuatku yakin."

Bianca kembali menundukkan kepalanya. Ia tahu kalau tuannya belum selesai bicara. Sebagai pelayan, ia hanya berhak melakukan apa yang diperintahkan tuannya.

"Saat Felicita mengatakan ramalan itu pada kakakku, aku bisa melihat wajah kakakku tetap tenang. Ia tidak terkejut sama sekali. Dengan tenang dia berkata, 'Aku tahu. Aku percaya takdir dan aku yakin takdir akan memberikan jalan terbaik untukku.' Aku sempat kaget mendengarnya, tapi aku berpikir itu sangat konyol. Hingga kakakku mengajarkan padaku kalau semua orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Kali ini aku akan diam menunggu takdir untukku, untuk klanku ."

§



Northless Palace


Aula utama kerajaan terlihat ramai. Semua pemimpin klan dari semua klan di kerajaan Vampir telah berkumpul di sana. Mereka menunggu pengumuman dari sang Raja.

"Mohon perhatian pada semua pemimpin klan. Raja akan segera menyampaikan pengumuman penting," kata Adolph.

Semua yang ada di dalam ruangan terdiam. Mata mereka tertuju pada Raja mereka, Yuta. Semua menunggu sang Raja menyampaikan pengumuman.

"Aku sudah mendengar tentang penyerangan Vampir Mud-Blood di pinggiran kota Furishi. Aku juga mengucapkan selamat pada Damon Yamaichi atas keberhasilanmu mengatasi mereka. Aku hadiahkan Lily Yon padamu," kata Yuta dengan penuh wibawa.

"Terima kasih, Yang Mulia," kata seorang pria berambut cokelat sambil sedikit membungkuk. Mata beriris merahannya berkilat sombong. Sementara pemimpin klan lain hanya mengucapkan selamat.

"Satu lagi yang ingin ku sampaikan. Besok akan datang tamu istimewaku dari Tosakyo city. Dia akan tinggal di Centerene Palace selama ia ada di sini," kata Yuta.

"Yang Mulia, apakah tamu Jiro-sama adalah manusia? Bukankah itu sangat membahayakan baginya bila ada di sini?" tanya seorang pemimpin klan yang duduk di kursi paling ujung sebelah kanan.

"Yang Mulia, bukankah Centerene Palace tertutup untuk umum? Lalu kenapa anda menempatkan tamu anda di sana?" sambung pemimpin klan lain.

Yuta tersenyum simpul. Sama sekali tak menjawab pertanyaan dari pemimpin klan. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk aula utama.

"Selamat datang, Kurochiki-san," sambut Yuta dengan ramah.

Semua mata memandang ke arah pintu utama. Mereka menghujami beberapa sosok di hadapan mereka dengan tatapan bingung, kaget dan penasaran. Sang pemimpin klan Kurochiki yang datang ditemani pelayan-pelayan setianya.

"Bagaimana mungkin dia menghadiri pertemuan ini?" batin pemegang Lily Yon. Dengan sedikit angkuh ia berdiri dan menyapa Jiro. "Ada apakah gerangan yang membuat Kurochiki-san berkenan hadir di pertemuan ini?"

Jiro tak mempedulikannya. Ia berjalan lurus menuju kursi yang paling dekat kursi Raja. Ia langsung duduk tanpa berbasa-basi pada sekitarnya. Ia tetap memasang wajah datar tanpa ekspresi.

"Aku sengaja meminta Jiro-san untuk datang karena ada hal penting menyangkut klan Kurochiki," kata Yuta.

Jiro tersenyum dingin. Ia membungkuk sekilas pada Yuta. Mata coklat terangnya menatap lurus ke arah Damon Yamaichi. Ia memang mempunyai kesentimentilan khusus pada Damon. Karena Damon lah vampir yang selalu menekan klan Kurochiki untuk memurnikan semua vampir setelah munculnya vampir murni yang terpilih.

"Aku hanya memenuhi undangan Yuta-sama. Aku tidak keberatan pada permintaannya. Aku yakin tamu Yang Mulia akan aman di mansionku. Satu vampir murni lebih dari cukup untuk menjaga seorang tamu Raja."

Kalimat itu seakan membungkam semua vampir yang ragu. Mereka tahu betapa hebatnya klan vampir berdarah murni Kurochiki.

"Jadi apakah tamu Yang Mulia benar-benar seorang manusia?" tanya Damon Yamaichi. Tatapan matanya tertuju pada Jiro yang duduk tak jauh hadapannya.

"Kau akan segera mengetahuinya, Yamaichi-san," kata Yuta dengan tenang. Walaupun ia masih meragukan kalau dia adalah gadis manusia yang berkunjung kemarin sebagai utusan hunter. Kepastiannya akan terlihat besok.


§


Hunter's Rules
2 "Don't break the mission whatever have done."

$$$$$$$$$

Minggu, 11 Maret 2012

The Last Pure-Blood Vampire || The Forbiden Experiment part 1

2nd Rules of Seven Rules
"Vampire can't kill hunter who guard human except hunter avoid the hunter's rules."


When your destiny come to you, you can't run from that.
Although you don't believe it, you must know if you can't change your destiny whatever you do.


Department of Hunter Spy, 8 a.m.


"Jadi apa rencanamu, Miura?" tanya seorang pria berambut hitam di hadapan Miura. Wajah kakunya tersaji di depan Miura dengan angkuh. Mata beriris birunya menatap Miura dengan tatapan menindas. Dia adalah pemimpin Hunter Spy, Jack Bishihana.

"Kau tidak perlu memasang wajah menggelikan semacam itu. Aku sudah kebal," kata Miura dengan nada sambil lalu.

Jack tersenyum sinis. "Jangan membuatku marah , Udagaki. Cepat katakan apa rencanamu !"

Nada memerintah yang tak bisa dibantah mulai keluar dari mulut Jack. Miura hanya mendengus kesal. Ia menyodorkan map biru ke hadapan Jack tanpa rasa hormat sedikitpun.

"Itu surat untuk Dewan Vampir. Itu langkah pertamanya . Langkah seterusnya belum ditentukan karena menunggu reaksi Dewan Vampir terlebih dahulu."

"Apa maksudmu? Memangnya kertas ini bisa memberi efek apa pada mereka, hah? " tandas Jack tanpa ampun. Ia menatap Miura dengan garang. Ia merasa dipermainkan dengan rencana konyol Miura.

"Sudahlah. Ikuti saja apa rencanaku. Semua resiko biar aku yang menanggung," kata Miura cepat.

Jack hanya menghela nafas panjang. Ia masih ragu untuk menyetujuinya. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Pemerintah harus konsisten dalam menangani kasus apapun termasuk kasus ini. Kejahatan ini tergolong kejahatan besar dan pemerintah tidak akan setuju jika kasus ini tidak segera ditangani. Apalagi Perdana Menteri sudah memintanya untuk menyelesaikan kasus ini sampai tuntas.

"Huh, baiklah. Lakukan sesukamu." Jack mengembalikan map yang tadi diberikan kepadanya. Kembali pada pemiliknya.

"Siapa yang kau pilih untuk ke sana? Tidak mungkin kau ke sana sendirian?"

Miura tersenyum puas. "Tentu saja aku akan mengajak beberapa orang. Aku tidak akan berani ke sana sendirian. Tempat itu menakutkan walaupun Dewan akan menjamin keamananku di sana."

"Ck. Tentu saja Dewan Perwakilan Vampire akan menjamin keselamatanmu. Jadi siapa yang kau ajak? " Jack hanya menggeleng kesal. Semua orang juga tahu kalau Dewan Perwakilan vampir akan menjaga keselamatan tamunya. Bagaimana pun juga manusia tetap relasi berharga bagi mereka.

"Rave Kunihonshou dan Runacathra Fukuzawa."

"Fukuzawa? Maksudmu anaknya Riku Fukuzawa? Kau gila!"



The Boundary of Sorrowforest, 11.00  p.m.



"Aku dengar kau akan ke Kerajaan Vampir dengan Rave senpai dan Udagaki sensei. Benar tidak?" tanya Seihan . Ia dan Runa sedang bertugas di perbatasan hutan Sorrowforest. Mereka berjalan menyusuri pinggiran hutan. Mereka memegang senter di tangan masing-masing.

"Ya. Besok aku berangkat," kata Runa dengan nada sambil lalu. Matanya memandang sekitarnya dengan waspada. Ia menyorotkan senternya ke arah pepohonan lebat di samping kanannya.

"Hah? Besok? Berapa lama? " sahut Seihan dengan cepat. Ia menatap Runa lekat-lekat.

"Tidak lama. Hanya satu atau dua hari. Kami hanya mengantar surat, " jawab Runa. Ia berhenti berjalan secara tiba-tiba . Matanya menangkap setetes darah di atas dedaunan kering.

"Ada apa, Naa-chan?" tanya Seihan heran saat melihat Runa berhenti tiba-tiba. Runa tak menjawab. Ia duduk berjongkok di dekat dedaunan kering , yang ia perhatikan. Sinar senter menyoroti daun yang ada darah di atasnya. Tangannya terulur untuk mengangkat daun itu. Ia membauinya dengan seksama. Jari telunjuk kanannya mencolek sedikit dari volume darah di atas daun.

"Sepertinya ini darah manusia. Masih hangat," kata Runa pelan. Dengan cepat ia menyinari pepohonan di sekitarnya.

"Darah manusia? Apa mungkin ada serangan? " tanya seihan dengan nada khawatir. Ia ikut menyinari pepohonan di sekitarnya dengan senter di tangannya.

"Naa-chan, sepertinya di sana ada sesuatu, " kata Seihan pelan. Ia menyinari dedaunan yang tak jauh dari tempat mereka berada. Runa ikut menyinari tempat yang dimaksud Seihan. Ada siluet sosok manusia di sana. Ia melirik Seihan yang juga sedang meliriknya. Keduanya saling menyunggingkan seulas senyum kecil. Tanpa dikomando, keduanya langsung berlari mendekati sosok itu. Seihan langsung mengecek nadi di leher dan tangan sosok manusia berjenis kelamin laki-laki. Darah sudah berhenti mengalir di tubuh laki-laki itu.

"Dia sudah mati, mungkin-" Seihan menghentikan kalimatnya karena ragu.

"-sudah sejak 5 menit yang lalu," lanjut Runa . Ia menatap luka koyakan di kaki dan tangan korban. Cakaran memanjang juga menghiasi leher korban. Dada korban juga berlubang. Jantungnya menghilang.

"Pelakunya zombie level S." Seihan menyiapkan pisau bedah dari dalam tas kecilnya.

"Zombie itu belum terlalu jauh. Kita harus waspada. Sebaiknya kau bunuh dia secepatnya sebelum dia menjadi zombie level H," jelas Runa. Ia sudah mengeluarkan pistolnya dan mempersiapkan peluru khusus untuk membunuh zombie. Ia sudah bersiap di posisi siaga dan siap menyerang.

"Serahkan padaku," kata Seihan sambil tersenyum lebar. Ia juga sudah siap dengan pisau dan sarung tangan di kedua tangannya. Ia menusuk bagian perut di bawah tulang rusuk terbawah. Menggerakkan pisaunya segaris dengan tulang rusuk lalu ke atas. Darah langsung terciprat keluar. Ia segera mengambil kapsul antibodi yang tadi ia siapkan. Ia membuka tutup kapsul lalu menuangkan isinya tepat ke atas hati korban. Antibodi itu berguna untuk melawan racun zombie yang mulai menyebar di tubuh korban.

Srak!! Runa langsung berdiri dengan mengacungkan pistol ke arah pepohonan di bagian kirinya. Mata jelinya menangkap bayangan di balik pohon. Ia yakin itu zombie. Mayat hidup yang menyukai jantung manusia. Ia melirik Shara. Dengan isyarat mata ia menyuruh Seihan membereskan peralatannya. Seihan mengangguk setelah menerima isyarat selanjutnya bahwa zombie yang ada di dekat mereka tidak hanya satu.

Srek! Dor! Runa langsung menarik pelatuk begitu mendengar gerakan kaki menginjak daun kering. Peluru keperakan meluncur dari moncong pistolnya dengan cepat. Brugh! Satu zombie sudah tumbang di atas tanah. Begitu temannya mati, zombie lain langsung keluar dari tempat persembunyiannya. Runa langsung menarik pelatuk lagi. Dor! Brugh! Zombie kedua juga tumbang. Dor! Dor! Dua zombie yang tersisa jatuh ke tanah dengan bersamaan.

"Mereka zombie baru. Sangat ceroboh," kata Runa pelan.

"Ya-" Brugh! Tubuh Seihan langsung terjatuh di tanah saat ada yang memukul tengkuknya. Runa langsung berbalik sambil mengacungkan pistol begitu melihat Seihan terjatuh di sampingnya. Mata violetnya menangkap sosok vampir di hadapannya.

"Tenang, Nona. Aku hanya kebetulan lewat," kata vampir berambut hitam sebahu. Mata coklat kemerahannya menatap Runa tanpa minat. Ia sedang berusaha kabur secepatnya. Namun ada yang menghalangi jalannya. Hunter dengan reflek cukup bagus.

Runa mengerutkan keningnya. Matanya menyipit. Memandang vampir itu dengan curiga. "Untuk apa vampir berkeliaran di sini sebelum jam 12 malam? "

Vampir itu tersentak agak kaget. Namun ia segera memasang wajah tenangnya lagi. "Ah, hanya jalan-jalan di hutan."

Alasan konyol untuk membuat Runa percaya. Ia menatap vampir itu dengan tajam. Matanya menyipit ke arah bibir vampir itu. Tidak ada yang aneh sekilas. Namun jika diperhatikan lebih detail, ada noda darah di sana. Hanya sedikit namun cukup membuat Runa curiga. Ia bersyukur bulan bersinar terang malam ini.

"Kau pelakunya kan? " kata Runa dengan nada tajam. Ia tidak bertanya namun menegaskan.

"Pelaku apa? Aku tidak mengerti, " kata vampir itu heran.

"Tidak perlu mengelak. Jadi sudah ada 15 kan? Perlu 84 lagi kan? " pancing Runa dengan nada meyakinkan.

"Apa maksudmu? " tanya vampir itu dengan kesal. Ia mulai terusik dengan penuturan Runa .

"Aku penasaran sejak awal ulahmu . Sebenarnya siapa yang ingin kau hidupkan dengan peleburan ini? " Vampir itu diam dengan wajah mengeras. Reaksi vampir itu membuat Runa senang. Tanpa menunggu lebih lama, ia meneruskan argumennya.

"Kalau dari golongan darah yang kau pilih sepertinya dari klan Kurochiki. Jadi siapa dia ? " Vampir itu menggeram marah. Ia menatap Runa dengan tajam. Iris matanya semerah darah. Ia sedang marah.

"Kau terlalu banyak bertanya, Nona! " Vampir itu bergerak mendekati Runa dengan menyeringai licik. Seringaian yang menunjukkan kedua taring tajamnya. Taring yang siap mengoyak leher Runa. Vampir itu semakin mendekat pada Runa . Sementara gadis itu tetap menodongkan pistol walaupun dengan tangan bergetar. Ia mundur selangkah. Setelahnya kakinya merinding hebat. Wajahnya memucat. Tanpa aba-aba, vampir itu bergerak cepat untuk menerjang Runa . Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat karena takut.

Buagh! Tubuh vampir itu terlempar jauh dan menubruk pohon di belakangnya. Ia meringis kesakitan dan menggeram marah.

"Apa yang ka-" Kata-katanya terhenti saat matanya menangkap sesosok vampir lain yang ia kenal. Tubuhnya terasa kaku. Ketakutan terpancar jelas dari kedua matanya.

"Yamada-sama, " gumamnya dengan suara tercekat. Runa membuka matanya perlahan. Ia tidak merasakan apapun. Ia merasa tubuhnya baik-baik saja. Bahkan ia mendengar suara seseorang menghantam sesuatu dengan keras. Ia mengerjapkan matanya dengan bingung saat melihat vampir itu terduduk jauh di hadapannya. Vampir itu nampak ketakutan di matanya.

"Apa yang ter-Ahh! Apa yang kau lakukan?" Runa yang hendak bertanya mengenai apa yang terjadi langsung mengubah kalimat tanyanya saat ada sepasang tangan kekar memeluk pinggangnya dengan erat. Sensasi dingin meresap ke dalam tubuhnya saat ia menyentuh tangan itu.

"Le-lepaskan! " pintanya dengan suara tercekat. Tanpa bisa ia cegah, jantungnya terus berpacu cepat. Perutnya terasa penuh oleh kupu-kupu. Tangannya yang menyentuh tangan itu mulai berkeringat dan merinding. Darah di pinggangnya terus berdesir aneh. Wajahnya pun terasa memanas. Rona kemerahan memenuhi wajahnya.

"He-hei! Le-lepas- " Brugh! Tubuh Runa merosot jatuh ke tanah, namun tangan kekar itu menariknya, dan menopang tubuh lemah Runa agar tidak terjatuh ke tanah.

"Yamada-sama, ma-maaf a-"

"Sebaiknya kau lebih berhati-hati, Rolfer. Kau hampir melanggar aturan, " potong vampir yang menahan tubuh Runa . Vampir berambut hitam kemerahan itu menatap tajam ke arah vampir yang ia panggil Rolfer. Ia tidak menyangka kalau sepupunya akan seceroboh ini.

"Sejak kapan kau tahu, Yama? " tanya Rolfer sambil bangkit dari duduknya.

"Hnn? " Vampir yang dipanggil Yama itu hanya bergumam tidak jelas. Ia menghirup aroma Amaryllis yang menguar dari tubuh Runa . Ia membenarkan letak tubuh Runa yang bersandar pada tubuhnya. Ia menyelipkan tangan kanannya di lipatan lutut Runa dan tangan kirinya di leher bawah Runa . Ia mengangkat tubuh mungil Runa dalam gendongannya .

"Sudah lama aku menduganya. Jadi sebenarnya siapa yang ingin kau hidupkan? " tanya Yama dengan nada datar. Matanya masih tertuju pada Runa . Wajah Runa yang merona merah.

Rolfer tidak terlalu kaget. Ia sudah mengiranya. Ia sadar kalau ia tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu dari sepupunya. Sepertinya ia memang harus menceritakan percobaan gilanya kali ini pada sepupunya.

"Sebenarnya aku hanya main-main. Kalau pun berhasil, aku ingin menghidupkan paman Arthur." Rolfer berjalan mendekati Yama .

"Hmm ? Begitu. Kau tidak sendiri, bukan? " Yama masih menggendong Runa di atas kedua tangannya. Ia merasa tidak membawa beban apapun di tangannya. Tubuh gadis itu terlalu ringan.

"Ya, aku dan Rina yang melakukan ini semua. Jadi apa kau akan melaporkan kami kepada ayahmu? " Rolfer sudah berhadapan dengan Yama. Ia mengamati tingkah Yama yang terus memperhatikan gadis di gendongannya.

"Tidak. Aku rasa ini bukan masalah besar. Mungkin ayah akan memakluminya, " kata Yama . Ia menegakkan kepalanya dan langsung menatap tepat ke manik mata Rolfer.

"Tapi aku dan Rina sudah membunuh 15 orang sampai hari ini. Setahuku manusia menganggapnya sebagai kejahatan besar," kata Rolfer. Ia nampak ragu untuk mengatakan argumennya.

"Jujur saja aku tidak peduli pada manusia. Bagiku mereka tetap saja mangsa bagiku. " Yama mengatakan itu dengan nada dingin . Ia tak menyembunyikan ketidaksukaannya pada manusia. Baginya manusia hanyalah pemasok darah. Manusia terlalu lemah dan selalu merepotkan vampir.

"Eh, jadi apa yang harus ku lakukan? Apa ini perlu dihenti-"

"Tidak perlu. Lakukan sesukamu. Aku akan membantumu kalau ayah marah. Siapa tahu paman Arthur bisa benar-benar dihidupkan, " potong Yama sebelum Rolfer menyelesaikan kalimatnya.

"Baiklah." Rolfer mengalihkan pandangannya pada Runa dan Seihan. Dua sosok manusia yang sama-sama tak sadarkan diri. " Eh, tapi bagaimana dengan kedua gadis manusia ini?"

"Hapus ingatannya." Yama meletakkan tubuh Runa ke atas dedaunan kering. Ia segera meletakkan tangannya di kening Runa . Sinar merah berpendar sekilas sebelum menghilang. Ia menepuk-nepuk pipi kanan Runa dengan lembut.

"Jika aku bertemu denganmu untuk ketiga kalinya, aku tidak bisa menghapus ingatanmu lagi, " gumam Yama pelan. Rolfer melakukan hal yang sama pada Seihan. Menghapus ingatan gadis itu. Ia sedikit heran mendengar penuturan Yama .

"Bukannya kau tidak peduli pada manusia. Lalu kenapa kau bersikap selembut itu padanya? "

Yama tersenyum sekilas. "Entahlah. Dia berbeda. Hanya itu penjelasanku." Rolfer tertawa kecil. "Aku tidak tahu kalau Pangeran Kerajaan Vampir bisa seperti ini."



Northless Palace, 8 a.m.

"Ada hal penting apa yang ingin anda bicarakan, Yujiro-sama? " tanya Aiden de Toushimori, Minister dari Dewan Perwakilan Vampire.

"Kerajaan menjadi tenang setelah mereka pergi, " kata Jiro. Jawaban yang sangat melenceng dari pertanyaan Aiden.

"Ya, tapi sebagai gantinya kita kehilangan klan terpenting, " gumam Aiden , menanggapi apa kata Jiro.

"Kau tidak menganggapku? " goda Jiro dengan nada sambil lalu.

"Itu berbeda, Jiro. Jadi apa tujuanmu memanggilku ke sini?" Aiden berusaha mengembalikan ke topik utama.

"Hmmm." Jiro hanya bergumam tak jelas. Ia menatap langit di luar mansion yang terlihat mendung. Ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya sebelum mengatakan tujuan utamanya datang menemui Aiden.

"Takdir sudah kembali berputar. Biarkan tamuku melakukannya."




Oyharo city, Kingdom of Vampire, 10 a.m.


"Fukuzawa, aku ragu mengenai ini. Nanti kau yang menjawab semua pertanyaan Aiden-sama ya," bisik Miura sensei saat ia dan kedua muridnya dalam perjalanan menuju pusat kota Oyharo city.

"Iya, sensei," gumam Runa singkat. Ia menyandarkan kepalanya di jendela mobil yang mengantar mereka ke tempat pertemuan. Ia sangat lelah karena kejadian tadi malam saat ia bertugas di perbatasan Sorrowforest dengan Seihan.

Rave yang duduk di sebelah Runa meliriknya sekilas. "Kau yakin, Ruu ? Wajahmu agak pucat." Runa mengibaskan tangannya. "Tidak apa-apa. Aku hanya kurang tidur."

Rave tak lagi menanyai Runa. Ia memberikan Runa waktu untuk istirahat. Ia sibuk mengamati keadaan di luar mobil. Ada banyak vampire di pinggir jalan yang menatap mobil yang ia tumpangi dengan tatapan aneh. Tatapan penuh rasa haus. Sepertinya para vampir itu belum meminum tablet darahnya hingga mereka tampak kesakitan menahan rasa haus.

"Kita sudah sampai," kata Miura saat mobil berhenti tepat di depan deretan tangga menuju Main Aula.

"Hmmm." Gumaman tak jelas keluar dari mulut Rave dan Runa. Keduanya keluar dari mobil dan mengikuti Miura.

"Sensei, apa kita akan menaiki tangga ini?" tanya Runa histeris begitu melihat deretan tangga menjulang di depannya. Ia tidak bisa membayangkan jika ia harus menaiki tangga sebanyak itu dengan stiletonya.

"Entahlah, aku tidak tahu," jawab Miura. Ia juga sama kagetnya dengan Runa. Ia juga tidak ingin menaiki tangga sebanyak itu.

"Tidak. Kita lewat sini," kata Rave sambil menunjuk jalan kecil di samping deretan tangga. Di dekat jalan itu ada papan yang bertuliskan Main Aula dengan tanda panah menunjuk ke arah jalan kecil itu.

"Syukurlah," kata Runa dan Miura bersamaan. Ketiga manusia itu menyusuri jalan kecil yang akan membawa mereka menemui Raja Jiro.


Main Aula, Kingdom of Vampire


"Mereka sudah datang? " tanya Jiro pada penasehat kerajaannya, Adolph Jurotsuchi.

"Ya, Jiro-sama. Mereka dalam perjalanan kemari," jawab Adolph dengan penuh hormat. Kacamata berbingkai emasnya menyamarkan iris matanya yang berwarna coklat kemerahan. Rambut hitam panjangnya tergerai sampai ke pinggang. Namun tak bisa mengurangi ketampanannya.

"Hmm, lebih baik aku pergi. Aku tidak mau kalian menanyaiku tentang 'dia'. Aku tidak mau mendahului takdir. Pasti akan menarik kalau takdir kali ini sedikit menantang," cetus Felicita Merekibe tiba-tiba. Wajah tirusnya menunjukkan keanggunan yang lembut. Rambut ungu gelapnya tergerai sampai ke bahunya. Mata beriris coklat terangnya menyiratkan ketenangan dan kemisteriusan.

"Apa maksudmu, Merekibe-san? " tanya Adolph cepat sebelum Jiro sempat bertanya.Felicita tidak menjawab. Ia tersenyum misterius. Tanpa rasa bersalah karena tidak menjawab pertanyaan Adolph, ia segera melenggang ke arah pintu keluar. Ia berhenti sejenak di pertengahan jalan. Tanpa menoleh, ia bergumam,

"Dia datang tapi tidak sebagai dia. Belum waktunya dia kembali. " Jiro dan Adolph saling memandang. Keduanya sama-sama bingung dengan sikap aneh Felicita . Di pikiran mereka terlintas pertanyaan yang sama. 'Siapa dia itu?'

"Yang Mulia, tamu anda sudah datang, " kata seorang pengawal kerajaan dengan menghormat penuh ke hadapan Raja. Karena Raja hanya terdiam, pengawal itu mengulanginya kembali. "Yang Mulia, tamu anda sudah datang!"

"Ah, iya. Persilakan mereka masuk," kata Jiro setelah tersadar kembali dari lamunannya.

"Baik, Yang Mulia." Tak lama kemudian, pintu utama terbuka lebar. 3 sosok manusia memasuki ruangan. Semua vampir di dalam ruangan harus menahan nafas karena bau darah yang menggoda mereka. Ketiga manusia itu berjalan mendekati hadapan Jiro. Dua dari ketiga manusia itu mengenakan seragam hunter. Mereka adalah utusan dari Hunter Spy. Miura, Rave dan Runa.

"Salam sejahtera untuk Jiro-sama," kata Miura dengan tingkat kesopanan tinggi. Ia dan kedua muridnya membungkuk dengan hormat di hadapan Raja Jiro.

"Ya, berdirilah, " kata Jiro penuh wibawa. Matanya menatap tajam ke arah gadis bermata violet di hadapannya. 'Dia...Apa dia Runa?' batinnya.

"Jiro-sama, gadis itu memiliki mata violet seperti...," bisik Adolph.

"Ya, aku tahu," balas Jiro cepat. Ia buru-buru bersikap biasa.

"Maaf telah menganggu anda, Yang Mulia," kata Miura.

"Tidak apa-apa. Aku tidak merasa terganggu. Ah, aku sudah membaca surat dari Hunter Spy." Jeda sesaat. Semua yang ada di dalam ruangan seakan menunggu penuturan Jiro selanjutnya. Terutama Miura, Rave dan Runa. Mereka sudah menyiapkan diri untuk sebuah penolakan. Atau mungkin untuk sebuah pengusiran.

"Aku minta maaf. Sebagai Raja, aku tidak tahu ada kejadian itu. Aku tidak menyangka pembunuhnya ada di Vampire 'ZERO' Academy. Aku akan membantu semampuku."

"Terima kasih, Yang Mulia," sahut Miura cepat.

"Tapi..." Semua kembali terdiam menunggu kelanjutan kalimat Jiro yang bisa saja berlawanan dengan kalimat sebelumnya.

"Kalian tahu bahwa kami belum terbiasa dengan darah manusia. Aku tidak bisa menempatkan kalian dalam bahaya selama kalian ada di akademi vampir. Tapi aku tetap mendukung misi kalian asalkan kalian yang menjalankan misi berubah menjadi vampir."

"Apa?" Miura tak bisa menunjukkan keterkejutannya.

"Tapi Yang Mulia, untuk menjadi vampir tidak bisa begitu saja dilakukan tanpa rencana. Butuh waktu lama untuk menyiapkan hal itu. Tidak bisakah Yang Mulia memberi syarat lain? Atau Yang Mulia berkenan memberi kami saran," kata Runa. Ia mengambil alih tugas Miura yang masih shock.

Jiro tersenyum simpul. Matanya menatap Runa dengan lembut. Ia mulai mengerti apa maksud Adolph dan Felicita. Tanpa diubah pun takdir sudah datang dengan sendirinya. Tanpa ingatan pun, hati mereka sudah dipertemukan oleh takdir.

"Aku tahu itu. Memang mustahil mengubah kalian menjadi vampir. Mengingat kedatangan kalian hari ini sudah pasti membuat pelakunya curiga. Tapi ada satu cara untuk menjadi vampir dalam waktu kurang dari 5 detik. Yaitu dengan obat mutasi buatan sendiri yang mengubah mampu manusia menjadi vampir selama kurang lebih 8 jam."

"Obat mutasi?"

#



Hunter 'ELF' Gakuen's Laboratory, 7 p.m.


"Jadi kerajaan vampir ingin hunter yang bertugas menjadi vampir dengan obat mutasi?" tanya Riiku Fukuzawa sambil menatap ketiga murid di depannya.

"Hehemm." Runa, Sean dan Rave mengangguk bersamaan. Mereka adalah 3 hunter yang dicalonkan untuk melaksanakan misi penyelidikan sekaligus pengejaran buronan pembunuh 15 manusia dalam 15 hari terakhir. Siapa yang akan menyusup ke akademi vampir akan ditentukan malam ini.

"Oh." Riiku kembali sibuk mengaduk-aduk tabung reaksi yang berisi cairan berwarna pink keunguan.

"Sensei!" seru ketiga muridnya dengan keras secara bersamaan. Mereka kesal karena tidak dihiraukan oleh Riiku.

"Hah? Apa?" tanya Riiku dengan wajah polosnya.

"Ajari kami membuat obat mutasi," kata Sean cepat. Diikuti anggukan dari Runa dan Rave.

"Aku tidak bisa kalau tidak ada resepnya." Runa langsung membungkam penolakan Riiku dengan selembar kertas berisi bahan dan cara membuatnya. Ia juga menyodorkan botol berisi darah vampir ke hadapan Riiku.

"Apa ini, Naa-chan?" tanya Riiku sambil mengangkat botol kecil itu lalu menggoyang-goyangnya.

"Darah vampire , Half-Blood," jawab Runa . singkat.

"Benarkah? Bahan ini sangat sulit dicari. Aku sudah mencarinya ke ujung penjuru Tosakyo city tapi tidak bisa menemukannya. Darimana kau mendapatkan ini?" celoteh Riiku begitu mengetahui apa isi botol itu.

Runa tersenyum sinis . Sangat mudah merayu ayahnya jika ayahnya sudah menunjukkan ketertarikannya pada sesuatu.

"Dari kerajaan vampir. Mereka memberikannya agar kami segera memulai membuat obat mutasi. Mereka memberikannya secara cuma-cuma. Dan kami hanya membutuhkan beberapa tetes, jadi sisanya untuk sensei."

"Benarkah? Ah, ehem. Baiklah. Sebaiknya kalian siapkan bahannya," kata Riiku sambil membaca sekilas cara membuat obat mutasi yang ada di kertas. Sekaligus menutupi ekspresi kesenangan yang berlebihan di wajahnya.

"Sudah!" seru Sean, Rave dan Runa bersamaan sambil menunjukkan sekeranjang penuh bahan-bahan aneh.

"Baiklah. Ayo kita mulai, " kata Riiku. Ia tetap menyibukkan diri dengan kertas di tangannya. Walaupun ia heran darimana mereka mendapatkan bahan secepat itu.

"Siapkan tabung elemeyer ukuran satu liter dan masukkan air lemon ke dalamnya. Masak sampai mendidih, " kata Riiku. Runa, Sean dan Rave melakukan semua perintah Riiku dengan hati-hati.

"Siapkan cawan petri ukuran diameter 15 cm. Haluskan kayu manis, bunga lily, mahkota mawar merah dan putih, bunga lavender, ganggang merah, hati kelelawar kering, dan biji apel."

Sean memasukkan semua bahan yang disebutkan ke dalam cawan dan langsung menumbuknya. Ia tak peduli pada kemungkinan ada bahan yang tidak perlu ikut masuk. Sementara Rave lebih hati-hati dengan meneliti bahannya satu persatu. Sama halnya dengan Runa . Ia bahkan membuang daun yang kering dan membersihkan bahan yang kotor.

"Masukkan bahan yang dihaluskan ke dalam cairan lemon yang sudah mendidih. Tambahkan darah vampir Half-Blood cukup satu tetes dan potongan jantung vampir kering secukupnya. Masak sampai memadat." Walaupun Riiku pada awalnya ingin mengajari namun pada akhirnya ia hanya mengawasi. Ia yakin murid-muridnya sudah pandai.

Mereka bergantian memasukkan darah vampir Half-Blood dan jantung vampir kering karena hanya ada satu. Runa menuang darah vampir lebih dari satu tetes karena tidak sengaja tersenggol lengan Sean. Ia tidak terlalu memperhatikannya. Ia mengambil jantung vampir kering dari tangan Sean yang mengulurkan itu sejak tadi. Ia memotong sedikit dari jantung itu. Crash! Tanpa sengaja, ia mengiris jari telunjuknya. Ia segera menghisapnya sebelum menetes ke ramuan. Tes! Ia tak menyadari ada setetes darahnya yang masuk ke dalam ramuan itu. Ramuan itu berubah warna menjadi merah darah beberapa detik sebelum kembali berwarna coklat.

"Aduk terus sampai padat dan berwarna pink kemerahan seperti di gambar ini," kata Riiku sambil menunjukkan gambar warna cairan ramuan di kertas resep.

"Sensei, kata Jiro-sama bentuknya pil. Kenapa ini masih cair begini? " tanya Runa penasaran. Menurutnya tidak mungkin ia berhasil karena ramuannya masih sangat cair.

"Aku tidak tahu. Di sini hanya tertulis begitu. Nantinya kalau sudah memadat, kita akan mencetaknya dan menguji cobanya. Baiklah, aku akan melihat-lihat hasil kerja kalian."

Rikiu mulai mengamati hasil kerja muridnya dari tabung milik Sean. Bukannya berwarna merah muda, tapi ramuan di tabungnya semakin menghitam. Ia menggeleng pelan. Sean gagal total. Ia mengintip tabung Rave. Ramuannya berwarna merah dan mulai memadat. Tapi bukan merah itu yang diminta melainkan pink atau merah muda. Ia mengalihkan matanya ke tabung Runa. Matanya bersinar senang melihat ramuan Runa yang mulai memadat dengan warna pink kemerahan yang sama dengan contoh.

"Ah, Naa-chan! Kau berhasil! Kau memang putriku yang paling hebat!" seru Riku kelewat senang.

"Hah?" Runa mengerjapkan matanya dengan bingung. "Benarkah?"

"Ya. Sama persis dengan yang ada di resep," jawab Riiku sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Runa menatap kertas resep dengan tabung ramuannya secara bergantian. Memang sama persis. Namun ia tak menyangkanya. Bagaimana mungkin ia berhasil? Apa artinya ia akan melakukan misi hebat ini? Seulas senyum kebahagiaan terlukis di bibirnya.

"Tidak salah lagi. Kau memang putriku," kata Riiku sambil memeluk putrinya erat-erat.

"Memang Runa itu putri sensei kan. Memangnya putri siapa lagi?" kata Sean. Rave hanya tersenyum pada Runa . Ia ikut senang karena Runa berhasil walaupun ia sedikit cemas akan keselamatan Runa selama misi.


$$$$$$$$$$$$$


"Runa!" Runa berhenti berjalan saat ada yang memanggil namanya. Ia membalikkan badannya untuk melihat siapa yang memanggilnya.

"Senpai, ada apa?" tanya Runa santai .

"Hah? Tidak. Aku hanya ingin mengucapkan selamat." Rave mengulurkan tangannya. "Selamat atas misi pertamamu sebagai anggota Hunter Spy."

Runa menyambut jabat tangan Rave dengan mantab. Ia sedikit menundukkan wajahnya menandakan sopan santun pada kakak senior . "Terima kasih, senpai."

"Apa kau yakin akan pergi besok?" tanya Rave. Runa mengangguk. Ia mulai berjalan lagi. Menyusuri halaman depan Horikoshi Hunter "Ya. Lebih cepat lebih baik."

"Lalu kenapa kau masih ada di sini? Bukannya kau harus bersiap-siap." Rave mengikuti langkah Runa . Ia berjalan tepat di samping Runa.

"Ah...aku ada janji makan malam dengan Seihan. Kami sudah berjanji bertemu di pintu gerbang asrama," jawab Runa. Tangannya bergerak-gerak kedepan dan kebelakang . sesekali Ia meletakkan kedua tangannya di belakang tubuh. Jari-jarinya saling bertautan.

"Oh. Apa itu semacam pesta perpisahan?"

"Begitulah." Suasana menjadi hening. Keduanya bingung harus mengatakan apa. Keduanya tetap berjalan beriringan menuju pintu gerbang asrama.

"Hoy, midget!" seru Sean keras sambil merangkul bahu Runa dengan santai.

"Senpai! Sudah ku katakan berkali-kali 'jangan memanggilku midget!'. Apa kau tuli, huh?" seru Runa keras. Ia selalu meledak-ledak di hadapan Sean yang selalu memanggilnya midget.

"Ah, ancamanmu itu tidak ampuh, Runa-chan," kilah Sean.

"Hei! Aku akan mematahkan tanganmu," ancam Runa lagi.

"Sudahlah. Kalian ini selalu bertengkar. Apa kalian tidak lelah?" Rave yang melihat pertengkaran itu hanya menengahi seperti biasa.

"Rave!" Grep! Seorang gadis berambut blonde langsung memeluk lengan Rave dengan erat. Mata beriris hijaunya menatap Rave dengan penuh cinta. Dialah Mariya Matjishi, pengejar cinta Rave.

"Cih. Troublemaker sudah datang," gumam Sean cukup keras. Ia memandang kesal ke arah Mariya. Ia tahu betul betapa mengganggunya sosok Mariya dalam hidup Rave. Seperti benalu di pohon mangga. Sangat merugikan.

Mariya melihat ke arah Sean dan Runa. Tatapan penuh cintanya berubah menjadi tatapan jijik dan penuh ketidaksukaan. "Oh, kau ya. Sean, si gila warna pink. Warna norak."

"Apa kau bilang? Dasar troublemaker berjalan!" balas Sean. Runa terkekeh geli. "Aku rasa tidak ada salahnya menyukai warna pink."

Mariya menatap Runa dari atas sampai bawah. Ia tersenyum mengejek. Penampilan Mariya sangat standar di matanya. "Kau itu anaknya Fukuzawa sensei kan? Kau itu hanya berlindung di balik ketenaran ayahmu, padahal kau tidak ada apa-apanya. Sama saja sih. Ayahmu juga sebenarnya tidak bisa apa-apa. Dia itu hanya guru ramuan yang to-"

"Jaga mulutmu, Matjishi-san. Atau peluru ini akan menembus kepalamu," kata Runa dengan nada rendah dan dingin yang sangat menakutkan.

Wajah Mariya langsung memucat. Tubuhnya bergetar ketakutan. Ia tak menyangka Runa akan menodongkan pistol padanya. Dari ekor matanya, ia melihat sekilas nama pistol Runa . Darkyuri. Yang ia tahu pistol itu untuk membunuh vampir dan zombie. Jadi tak ada efek untuk manusia. Ia sedikit tenang.

Rave dan Sean pun kaget karena dalam waktu cepat pistol sudah tertodong di kepala Mariya . Mereka bahkan tak melihat gerakan Runa mengambil pistol. Dan yang pasti pistol Runa bukan sembarang pistol.

"Apa kau tidak belajar, Fukuzawa. Pistolmu tidak berefek padaku," kata Mariya dengan percaya diri. Runa tersenyum sinis. Tatapan matanya menajam. "Benarkah? Apa kau mau coba? Aku belum mencobanya pada manusia."

"Runa, sudahlah. Jangan terbawa emosi," kata Sean untuk menenangkan Runa. Ia tahu betapa menakutkannya Runa kalau sedang marah, terutama jika ada yang menghina ayahnya.

"Coba saja kalau berani," tantang Mariya.

"Baiklah. Hitung mundur dari 10."

"Runa, jangan," cegah Rave sambil memegang tangan Runa. Tapi percuma karena posisi tangan Runa tak berubah satu derajatpun.

"10, 9, 8, 7..." Runa mulai menghitung mundur. Sementara Rave dan Sean merasa khawatir. Darkyuri, pistol milik Runa bukanlah pistol hunter pada umumnya yang hanya mempunyai dua lubang peluru, satu untuk vampir dan satu untuk zombie yang otomatis berputar sesuai alat deteksi sasaran. Tapi pistol Runa ada tiga, satu lagi untuk manusia.

"3, 2, Dor!" Sean, Rave dan Mariya terpaku di tempat saat mendengar suara tembakan dari pistol Runa . Mariya yang takut nyawanya hilang. Sean dan Rave yang tidak percaya kalau Runa telah melakukannya. Semua hening.


##############

The Last Pure-Blood Vampire | The Murderer part 2

"Aku pulang!" seru Runa keras-keras dari pintu depan sebuah rumah minimalis di pinggiran kota Tosakyo tepatnya di Guinave Village. Tangan mungilnya memencet bel berkali-kali sampai terdengar bunyi 'ting tong' berurutan.

"Hei! Jangan berteriak seperti itu, Naa-chan!" balas seorang pria berumur akhir 30 tahunan yang memakai celemek berwarna biru laut. Di tangannya ada sodet masak yang masih bersih. Ia berjalan santai menuju pintu depan. Mata beriris abu-abunya tersembunyi indah di balik kacamata non frame yang ia pakai. Rambut hitamnya yang terpotong pendek nampak acak-acakan. Ia berusaha mengabaikan bunyi bel yang mulai membuat telinganya sakit. Ia, Riiku Fukuzawa tak akan memaafkan ulah Runa kali ini dengan mudah.

Ceklek! Pletak!

"Ah! Aduh! Ayah! Sakit !" omel Runa kesal. Ia tak menyangka ayahnya akan memukul kepalanya dengan sodet sayur.

"Itu hukumanmu karena memencet bel seenakmu sendiri," balas Riiku. Ia juga nampak kesal.

"Ah, ayah. Aku kan baru pulang dari Horikoshi Hunter Society. Apa kau tidak merindukanku?" kata Runa dengan nada merajuk.

"Aish! Bagaimana mungkin ayah merindukanmu kalau setiap hari kita bertemu di Horikoshi Hunter Gakuen dan setiap akhir minggu kau juga pulang," jelas Riku panjang lebar. Sekedar memberitahu putrinya kalau ia tidak merindukan putrinya sedikitpun.
Wajah Runa berubah cemberut. Bibirnya maju beberapa milimeter. " Ayah jahat! "

" Hei! " Riku memekik kaget saat putrinya melewatinya sambil menabrakkan diri ke tubuhnya. Ia menggeleng pelan sebelum menutup pintu rumah. Ia heran kenapa dia bisa mempunyai anak seunik Runa. Meledak-ledak seperti petasan.

" Ayah! Kare-mu gosong! " seru Runa dari arah tangga di dekat dapur.

" Hah? " Riiku terhenyak kaget. Ia buru-buru berlari ke dapur dan meninggalkan kegiatan melamunnya beberapa saat lalu. Matanya membelalak kaget menatap kepulan asap dari panci karenya.

" For God Sake. Kare-ku! " serunya frustasi. Ia menatap pancinya dengan sedih. Kare spesialnya gosong padahal baru ia tinggal sebentar. Ini pasti gara-gara apinya terlalu besar. Argh! Ia menjambak rambutnya sendiri. Harus makan apa dia malam ini ? Padahal Runa ada tes Hunter Spy tengah malam nanti. Bagaimana kalau putrinya kelaparan nanti ? Lalu gagal dalam tes. Tidak! Ia merasa jadi ayah yang jahat.

" Sudahlah, ayah . Aku sudah belikan bahan makanan. Masak saja lagi! " seru Runa dari lantai atas. Ia sudah hafal kebiasaan ayahnya yang hanya membeli bahan makanan untuk sekali masak. Dan ayahnya itu hanya masak setiap akhir pekan saat ia pulang.

" Hah? Baiklah. Aku akan masak kare lagi, " kata Riku dengan semangat baru yang entah ia dapat darimana. Ia berjalan mendekati meja dapur dimana ada sekantong bahan makanan di sana. Ia terdiam saat melihat bahan makanan yang ada di dalam kantong. Hanya ada daging, paprika, bawang bombay, cabai, kecap, saus dan wasabi. Ia hanya mampu menatapnya dengan bingung. Tidak ada bahan makanan untuk kare.

" Aku mau barbeque bukan kare, " kata Runa tiba-tiba.

Riku menatapnya kecewa. " Tapi ayah mau kare, Naa-chan. "

" Tidak bisa, aku mau barbeque! " tandas Runa kesal. Ia bosan makan kare setiap pulang ke rumah. 

“ Kalau ayah tidak mau, ya sudah. Aku bisa masak sendiri."

" Eh? Ayah mau kok. Naa-chan duduk saja , biar ayah yang masak, " kata Riku dengan senyum yang kelewat lebar.

" Baiklah. " Runa duduk di kursi di ruang makan dengan tenang. Ia mengamati ayahnya yang sedang memasak. Terkadang ia sempat berpikir 'bagaimana mungkin orang sekonyol ayahnya bisa menjadi guru obat yang cukup disegani di Horikoshi Hunter Gakuen. Sulit dipercaya tapi memang itu kenyataannya.

" Eh, ayah. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu," kata Runa saat tiba-tiba ia teringat pada pembicaraannya tadi siang dengan Udagaki sensei.

" Ya? Bicara apa? Katakan saja! Aku masih bisa mendengarmu dengan jelas, " balas Riku.
Runa menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. " Ini tentang misi pengejaran buronan di Vampire 'ZERO' Academy. Aku mau ikut misi Hunter Spy di sana kalau aku lulus tes. "

Klontang!

Riiku menjatuhkan pisau yang tadi ia gunakan untuk memotong daging. Pisau itu jatuh membentur lantai dengan cukup keras. Beruntungnya pisau itu tidak mengenai kakinya yang hanya memakai sandal rumah berbentuk kepala sapi di ujungnya. Riku membalikkan tubuhnya perlahan ke arah dimana Runa berada . Matanya menatap Runa dengan horor.

"A-apa kau bilang tadi, Naa-chan?" tanyanya dengan suara tercekat. Ia masih memberikan tatapan horor pada Runa . Ia kaget dan tak menyangka kalau Runa akan mengatakan itu. Darimana putrinya tahu kalau ada misi pengejaran buronan ke Akademi Vampir? Ah, ia ingat. Ia yakin kalau Miura yang sudah mengatakannya pada Runa.
Runa menatap ayahnya dengan bingung. Reaksi yang diberikan ayahnya cukup membuatnya kaget. Walaupun ia sudah menduga hal itu sebelumnya. Ia berdecak kesal sebelum angkat bicara.

" Ckk. Ayah tidak dengar ? Aku bilang kalau aku akan ikut misi pengejaran buronan ke Vampire 'ZERO' Academy kalau aku lulus tes Hunter Spy tengah malam nanti."

" Ah, Naa-chan. Jangan lakukan itu. Kau tahu di sana sangat berbahaya. Lagipula kejahatan ini bukan kejahatan besar, " kata Riku dengan wajah memelas.

Runa kembali berdecak kesal. "Ayah! Bukan kejahatan besar bagaimana! Sudah ada 13 korban dan itu akan terus berlanjut."

" Tapi- "

" Aku tidak terima kata 'tapi' dari ayah. Lagipula aku ikut misi ini kalau aku lulus tes Hunter Spy tengah malam nanti. Kalau aku gagal, aku tidak akan ikut," potong Runa cepat sebelum ayahnya sempat meneruskan kata 'tapi'-nya.

"Naa-chan, aku melarang karena aku tahu kalau kau akan berhasil dalam tes Hunter Spy. Kau bisa melakukan misi apapun, asal jangan misi penyusupan seperti ini. Ayah tidak setuju. Bagaimana kalau vampire di akademi vampire mencium bau darahmu saat haus. Kau bisa diserang oleh mereka. Kita tahu pasti tentang larangan memasuki Vampir 'ZERO' Academy yang dikeluarkan kerajaan Vampire . Itu untuk keselamatan kita, " jelas Riku panjang lebar.
Runa mendengus kesal.

" Kasus kejahatan ini juga menyangkut kepentingan mereka. Aku yakin kalau mereka akan mengizinkan penyusupan ini."

" Apa maksudmu? Kepentingan mereka? " ulang Riku tak mengerti.

" Ayah ingat tentang peleburan untuk membuka segel Triangle Darkness? " tanya Runa. Ia tersenyum licik saat ayahnya nampak bersemangat.

" Tentu saja. Itu jalan pintas yang cukup menantang. Ah, tapi apa hubungannya dengan ini? " Riku memandang putrinya dengan curiga.

" Kejahatan ini adalah proses peleburan itu. "

" Kenapa kau bisa beranggapan seperti itu? " tanya Riku ragu.

" Ada beberapa poin penting yang sama. Pertama, semua korbannya bergolongan darah O. Kedua, ada tattoo helai sayap phoenix di bawah tulang selangka korban. Ketiga, dalam dua minggu ini semua korban ada 13 dan dari Orbitary village. Bukankah itu syarat utama peleburan, yaitu berurutan tiap malam dengan 1 korban dan 14 korban dalam 1 tempat. Jadi kemungkinan ini ilegal. Kalau legal tentunya pihak kerajaan akan memberitahu kita kan? " jelas Runa .

Riku menatap Runa dalam-dalam. Ia tak menyangka putrinya mampu menganalisa seakurat ini. " Hebat. Kau memang putriku yang paling hebat. "

Runa kaget saat ayahnya sudah ada di depannya dan memeluknya erat-erat. Ia hanya tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk punggung ayahnya. Tiba-tiba keningnya mengernyit bingung saat hidungnya mencium aroma sesuatu. Bau gosong. Matanya membulat begitu melihat daging yang dipanggang telah berasap.

" Ayah, dagingmu gosong, " bisiknya pelan. Senyum geli terukir di bibirnya.

" Apa! "

Riku langsung histeris melihat dagingnya telah hangus dan tidak bisa dimakan pastinya. " Mau makan apa kita malam ini? “



" Naa-chan, kau tidak apa-apa hanya makan malam dengan mie instan? Apa perlu ayah buatkan bekal roti? " tanya Riku sebelum mengantar Runa ke Orbitary village. Karena dagingnya hangus, ia dan Runa hanya makan mie instan. Ia khawatir kalau Runa akan kelaparan saat tes nanti.

" Tidak perlu, ayah. Aku sudah kenyang dengan mie instan tadi, " tolak Runa . Ia sudah mengenakan seragam Horikoshi Hunter Gakuen lagi setelah ia sempat berganti pakaian saat di rumah. Ia merapikan kemeja berlengan panjang berwarna putih yang membalut tubuhnya. Dasi berwarna biru muda sudah terikat rapi. Rok lipit selutut yang sewarna dengan dasinya juga sudah rapi. Di tangannya sudah ada mantel panjang berwarna putih dan pistol rakitan yang ia buat sendiri sebulan yang lalu. Ia menamainya dengan Darkyuri.

" Baiklah. Kita berangkat sekarang, " kata Riku. Ia menyalakan mobil Volvo putihnya dan melajukannya dengan cepat menuju ke Orbitary village.

Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di pinggiran Orbitary village, tepat di tepi Sorrowforest. Di sana sudah terlihat ramai. Tidak hanya Runa yang mendapat jadwal tes tengah malam ini.

" Aku tes dulu . Sebaiknya ayah pulang, " kata Runa sebelum keluar dari mobil.

" Ya . Hati-hati, " balas Riku. Ia memperhatikan pergerakan Runa sampai gadis itu berhenti di depan seorang pria .

" Ckk, Miura. Awas kalau sampai putriku terluka, " gumam Riku pelan. Ia segera memutar arah mobilnya menuju rumahnya. Yui berjalan cepat menuju tempat dimana Miura Udagaki berada. Ia menyelipkan pistolnya ke dalam saku mantelnya. Lalu mengenakan mantelnya dengan cepat.

" Sensei ! " seru Runa pada pria yang ia kenali sebagai Miura .

Miura menoleh ke arah kedatangan Runa . Ia berdecak singkat.  "Ckk. Kau telat 13 detik, Fukuzawa. Segera masuk hutan dan kembali ke tempat ini dengan membawa bendera yang ada di tengah hutan. Hanya ada 3 bendera malam ini." Runa mengangguk mengerti . Ia sudah akan berjalan ke dalam hutan tapi ia menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Miura .

" Sensei, sebaiknya hunter yang ada di sini berjaga karena malam ini pasti ada serangan di Orbitary village, walaupun sudah lewat tengah malam."

" Hah? Apa mak-Hei ! Ck ! Bocah itu, " keluh Miura pelan karena Runa sudah menghilang di balik pekatnya hutan. Runa terus berlari menerobos hutan. Tujuannya hanya satu yaitu tengah hutan. Ia mengingat rute jalan pintas yang pernah ia baca. Saat sampai di persimpangan, ia memilih jalan ke kanan. Walaupun terjal tapi itu adalah jalan pintas. Dengan lincah, tubuh mungil itu melewati jalanan berbatu yang berbatasan langsung dengan jurang. Ia melompat di bebatuan terakhir dan langsung sampai di tengah hutan. Ia melihat ada banyak bendera yang sejenis. Tapi ia hanya melihat ada 3 yang memiliki tanda Horikoshi Hunter Gakuen kecil di ujung bendera. Dengan cepat ia meraih salah satunya dan kembali menyusuri jalan yang berbeda dengan jalan saat datang.

"13 menit 3 detik. Runacathra Fukuzawa, " seru hunter yang bertugas menghitung waktu di garis finish.

" Midget, kau membuat rekor baru! " seru seorang laki-laki berambut coklat terang. Tangan kekarnya menepuk-nepuk kepala Runa dengan semangat . Mata beriris birunya nampak bersinar di keremangan malam.

" Sean senpai ! Jangan memanggilku midget ! Aku tidak kerdil ! " seru Runa pada seniornya , Sean Kotatsuki yang dua tahun di atasnya .

" Bagiku kau tetap midget ! Iya kan, Rave ? " Sean menoleh sekilas pada laki-laki di belakangnya yang ia panggil Rave. Rave Kunihonshou hanya tersenyum kecil. Rambut hitamnya tersembunyi rapi di balik tudung mantelnya. Mata beriris coklat terangnya menatap Runa dengan lembut. " Selamat, ya. Kau memang hebat. " Runa mengangguk cepat dan segera memukul bahu Sean sebagai balasan atas jitakan di kepalanya tadi.

" Hei ! Runa , aku dengar kau mau ikut misi pengejaran buronan ke Vampir 'ZERO' Academy. Benar tidak ? " tanya Sean saat Runa sudah berhenti memukul bahunya.

" Itu ? ya, sepertinya . Tapi kalau bisa aku ingin menangkapnya malam ini, " jawab Runa sambil melepas mantelnya . Dengan tak peduli, ia duduk meluruskan kaki di atas dedaunan kering. Tangan mungilnya dengan lincah melepas sepatu ketsnya. Dan menggantinya dengan stileto berhigh heels 7 cm.

" Malam ini ? Memangnya kau yakin dia akan datang malam ini ? " tanya Sean lagi.

" Ya. " Runa kembali berdiri dan memandang ke langit.  "Pasti datang. Dia tidak bisa melewatkan sehari pun. Ah, bagaimana menurut senpai tentang tujuan kejahatan ini ? Aku yakin Udagaki sensei sudah menceritakan itu pada kalian." Sean mengangkat bahu.

"Entahlah. Analisamu masuk akal. Berhubung aku tidak tahu menahu soal buku itu dan isinya, aku setuju saja denganmu. Kau kan memang buku berjalan." Runa menoleh dan menatap Sean dengan tajam. "Apa maksudmu dengan buku berjalan?"

" Nothing. " Sean mengacungkan tanda peace dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

" Aku setuju denganmu, Runa . Memang ada indikasi ke arah itu. Tapi belum bisa dipastikan mengenai hal itu, " kata Rave. Ia menatap Runa tetap dengan tatapan lembut.

"Ngomong-ngomong darimana kau tahu tentang buku itu?" Runa terkekeh pelan. Dengan gaya cool ia merapikan rambutnya yang sebenernya tidak terlalu kusut karena terpaan angin malam itu .

" Dari ayah . Senpai kan tahu kalau ayahku memang menyukai buku-buku seperti itu. "

" Ah, aku jarang bertemu Fukuzawa sensei. Apa dia sedang melakukan sebuah proyek ? " tanya Sean tiba-tiba. Ia terlihat antusias menanyakan Fukuzawa sensei. Sudah menjadi rahasia umum kalau ia sangat mengidolakan Fukuzawa sensei dan selalu menjadi orang pertama yang memuji obat penemuan Fukuzawa sensei.

" Entahlah. Sepertinya memang begitu. Ayah bilang dia sedang sibuk meneliti komposisi darah vampir dan bagaimana cara vampir mengidentifikasi bau darah manusia," jawab Runa sambil menunjukkan pose berpikirnya. Kepalan tangan menyangga dagu.

" Dimana Udagaki sensei? " tanya seorang anggota Hunter Spy pada Rave yang berdiri tak jauh darinya.

" Ah, ada di posko penilaian. Memangnya ada apa ? " kata Rave pada orang itu.

" Eh? " Orang itu nampak ragu untuk menjawab.

" Sedang apa kau di sini ? Bukannya aku menyuruhmu berjaga di balai desa Orbitary," cetus Miura yang sudah ada di belakang Runa entah sejak kapan.

" Sensei, ada pe-pembunuhan di balai desa. Pelakunya vampir. "

" Apa? " seru Miura dan Sean secara bersamaan. Sementara Runa dan Rave tetap tenang . Sepertinya keduanya sudah menduga hal itu akan terjadi.

" Sebaiknya kita segera ke sana, " kata Rave dengan nada datar. Runa sudah berlari terlebih dahulu sebelum yang lainnya bergerak. Ia penasaran dengan kondisi korban. Ia ingin melihat korban dengan mata kepalanya sendiri. Langkah kakinya berhenti tepat di dekat kerumunan orang. Ia menerobos masuk ke dalam kerumunan dan langsung mendekati korban, tepatnya
mayat korban berada. Ia duduk berjongkok di dekat mayat seorang wanita seusianya. Wajah mayat itu pucat pasi dengan mata tertutup. Bajunya sedikit terkoyak. Tangan Runa sudah terulur untuk menyingkap baju korban di bagian leher. Namun ada tangan kekar yang menampik tangannya dengan keras.

" Apa yang kau lakukan? Kau bukan anggota Hunter Spy ! " seru hunter yang menampik tangan Runa.

"Ckk." Runa berdecak kesal sambil mengusap tangannya yang memerah karena tampikan tangan hunter itu. Ia berdiri tegak dan menatap hunter itu dengan kesal. " Aku sudah menjadi anggota Hunter Spy sejak beberapa menit yang lalu. "

" Omong kosong. Pergilah, bocah ! " Hunter itu mendorong Runa sampai nyaris menubruk tanah kalau tidak ditahan Rave yang ada di belakang Runa beberapa detik yang lalu.

" Kau tidak apa-apa? " tanya Rave tepat di belakang Runa .

"Hmmm . Aku tidak apa-apa. " jawab Runa masih dalam keadaan marah yang tertahan .

" Biarkan dia memeriksanya. Dia berada di bawah perintahku, " tandas Miura. Ia mengalihkan tatapannya pada Runa .  "Lakukan apapun yang mau kau lakukan ! "

" Baiklah . " Runa menjawab singkat dan segera duduk berjongkok di dekat mayat. Tangannya menyingkap baju yang menutupi leher bagian kanan korban. Ada dua lubang bekas gigitan yang jelas terlihat di leher korban. Tangannya menyingkap baju korban lebih ke bawah tepatnya di tulang selangka bagian kanan. Namun tidak ada tattoonya. Ia beralih ke tulang selangka bagian kiri. Ada tattoo helai sayap phoenix di sana.

" Udagaki sensei , apa tattoonya ada di bagian kiri semua? " tanya Runa tanpa melihat ke arah Miura sedikitpun.

" Entahlah . Bagaimana menurut catatanmu , Sean? " Miura menatap Sean yang nampak sibuk membolak-balik notenya.

" Tidak. Korban pertama di kanan , korban kedua di kiri . Tattoonya berganti tempat tergantung urutan korban. Untuk yang ganjil ada di kanan, dan kiri untuk yang genap," jelas Sean.

" Oh, begitu. " Runa bangkit dan berjalan menjauh.  "Aku pergi sensei, mungkin pembunuhnya belum jauh. Dia akan melambat kalau terlalu kenyang." Sebelum sempat ditanggapi , Runa sudah menghilang.

" Apa boleh buat , midget benar, " kata Sean seraya berlari mengejar Runa . Rave menyusul di belakangnya.

" Bocah-bocah itu terlalu bersemangat, " kata Miura sebelum memerintahkan anak buahnya menyisir setiap tempat.



Runa berlari cepat menyusuri jalan setapak yang ada di samping balai desa. Jalan itu membawanya ke dalam hutan, Sorrowforest. Ia tetap berlari jauh ke dalam hutan walau terkadang ia berhenti karena stiletonya menancap di tanah basah. Ia tidak tahu kenapa ia menyusuri jalan ini. Ia hanya menuruti apa kata hatinya saja.

" Hah? Apa yang ku lakukan? " gumamnya pelan, sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Ia memperhatikan sekitarnya dengan cermat. Tidak ada apapun kecuali kegelapan yang membayang di balik pepohonan. Ia menyeka keringat yang menetes dari keningnya. Beberapa bulir keringat mengalir sampai ke matanya. Ia memejamkan matanya yang terasa perih.

Srett! Tubuhnya menegang saat merasakan ada yang lewat di dekatnya. Dengan cepat ia berbalik ke arah dimana ia merasakan sesuatu tadi berasal. Dari matanya yang belum bisa melihat dengan jelas, ia menangkap sesuatu yang menyerupai manusia bergerak cepat ke arahnya. Brugh! Belum sempat ia menghindar, sosok itu sudah menabraknya dengan keras.

Bugh! Krasakk! Tubuh Runa jatuh menimpa dedaunan kering dengan sosok itu tepat di atasnya. Lengan tangan bagian atas Runa tergores bebatuan. Membuat gadis itu meringis kesakitan.

Deg! Deg! Deg! Jantung Runa berdetak kencang saat matanya bertemu pandang dengan sosok itu. Amethyst violet kemerahan bertemu hazel semerah darah. Keduanya terdiam tetap pada posisinya. Saling menyelami mata masing-masing. Jantung Runa terus berdetak tak terkontrol. Darahnya mengalir menuju ke wajahnya, dengan cepat membuat wajah cantik itu merona merah.

Tes! Suara tetes darah dari luka gores di lengan Runa , memecah keheningan. Keduanya mengerjapkan matanya bersamaan. Cahaya rembulan yang bersinar menerobos melewati pepohonan menerpa wajah Runa . Membuat sosok itu terpaku pada Runa . Sementara Runa tak bisa melihat apapun dari siluet sosok itu kecuali ketajaman mata dan kenyataan kalau sosok itu adalah vampire laki-laki. Tidak ada makhluk lain yang mempunyai iris mata semerah mata vampire. Dan tidak ada tubuh seberat itu kecuali tubuh laki-laki. Ia juga merasakan samar-samar otot sixpack di perut vampir itu. Memikirkan hal itu membuat wajahnya semakin memerah. Bagaimana mungkin ia memikirkan hal itu di saat nyawanya mungkin terancam.

" Kau vampire? " tanya Runa dengan suara tercekat. Sosok itu diam saja. Ia tetap menatap Runa dengan tajam. Mengamati wajah cantik Runa yang memerah. Namun tiba-tiba tangannya secara naluriah terangkat menuju luka gores di lengan Runa. Dengan sihir ringan, ia mengobati luka itu. Walaupun ia sudah tak mampu menahan rasa hausnya, ia tak berniat menggigit Runa . Ia merasa tak tega . Selain itu minum bukanlah tujuannya saat ini.

" Aku bertanya pada-mu. Apa kau vampir yang membunuh mereka?" ulang Runa dengan pertanyaan yang hampir sama. Ia hanya menambahkan sedikit pertanyaan yang menganggu pikirannya. Sosok itu tersenyum manis. Membuat rona merah makin terlihat di wajah Runa . Sosok itu tak menjawab. Tangannya bergerak cepat melonggarkan dasi yang dikenakan Runa . Tangan dinginnya menelusuri leher Runa bagian kiri. Tatapannya terpaku pada mata Runa. Membuat gadis itu diam tak berkutik. Membuat gadis itu tahu betapa hebatnya kemampuan vampir dalam mempesona manusia.

" Ya, aku memang vampir, " gumam sosok itu pelan. Ia memang tak berniat menggigit Runa, namun saat melihat wajah Runa yang merona merah, ia menjadi lost control. Ia menjadi sangat haus. Ia semakin tak tahan untuk segera minum.

"Tapi sayang, aku bukan pembunuh yang kau cari. Kau tahu, sepertinya kita mencari vampir yang sama. " Runa tercekat saat taring tajam sosok itu terlihat ketika sosok itu menyeringai lebar. Ia tak bisa mengelak lagi saat sosok itu mendekatkan kepalanya ke arah lehernya. Ia menahan nafas saat hembusan nafas dingin sosok itu menerpa lehernya. Nafas itu terasa menggelitik kulit lehernya . Ia mendongakkan kepalanya saat sesuatu yang basah dan lembut menjilat lehernya. Jantungnya mulai berdetak semakin kencang. Tubuhnya mulai terasa merinding. Ada yang bergejolak dalam hatinya. Jleb! Ia memejamkan mata saat taring itu menembus kulitnya. Dan ia memalingkan wajahnya ke arah kanan saat kedua taring tajam itu terasa semakin dalam menancap di lehernya. Ia bisa merasakan volume darahnya tersedot keluar. Kepalanya pening dan pandangan matanya mulai kabur. Pikirannya mulai kalut jika tersadar nanti ia sudah di alam lain. Ia takut, sangat takut untuk pertama kalinya.

" Apa kau- " Sebelum mendengar penuturan sosok itu lebih jauh, Runa sudah jatuh pingsan. Hal terakhir yang ia lihat adalah tangan dingin yang mengusap pipinya.

" -baik-baik saja? " bisik sosok itu saat ia sudah selesai meminum darah Runa . Ia mengangkat kepalanya dan menemukan Runa dalam keadaan pingsan. Ia tersenyum kecil sebelum menjilat bibirnya. Membersihkan sisa darah yang tertinggal di bibirnya. Ia menatap wajah terlelap itu lekat-lekat. Ia tidak tahu kenapa wajah itu begitu menarik di matanya. Ia mengalihkan pandangannya ke badge nama di seragam Runa.

" Padahal aku hampir berhasil menahan rasa hausku selama 1 bulan penuh. Tapi kau membuatku sangat haus, Nona Runacathra Fukuzawa." Sosok itu tersenyum manis. Ia menyentuh luka bekas gigitannya. Dalam sekejab luka itu menghilang. Begitu pula bekas darah yang sebelumnya mengotori seragam gadis itu. Ia beralih menyentuh kening gadis itu. Sinar merah berpendar beberapa detik sebelum kembali hilang.

" Kau harus melupakanku. Anggap malam ini kita tidak pernah bertemu. " Ia tersenyum kecil sebelum merapikan dasi dan kerah baju Runa . Ia tidak mau dihukum karena kesalahan kecilnya yang melanggar aturan Seven Rules. Ia tidak bisa memastikan apa gadis itu ikhlas memberikan darahnya atau tidak. Walaupun gadis itu tidak mengelak saat dia menggigitnya. Namun akan jauh lebih mudah jika ia menghapus ingatan gadis itu. Jadi ia tidak perlu membuat beban di pikiran gadis itu. Ia beranjak dari posisinya yang menindih Runa . Ia berjongkok di dekat tubuh Runa .

"Terima kasih, Nona. darahmu manis sekali, " gumam sosok itu pelan. Ia mengusap kening Runa . Menyibak poni yang menutupinya. Ia menghirup nafas dalam-dalam. Aroma Amaryllis memenuhi indra penciumannya. " Amaryllis . Entah kenapa wangimu sangat menggoda bagiku." Sosok itu meraih pergelangan tangan kanan Runa. Membuat pola khusus di sana. Pola phoenix kecil yang hanya bisa dilihat olehnya.

" Aku tidak berniat menandaimu tapi aku ingin melakukannya. Maaf jika kau merasa keberatan. Suatu saat aku akan menghapusnya jika kau memintanya padaku. Sampai jumpa, Runa ."

Sosok itu meletakkan tangan Runa kembali ke atas dedaunan kering. Ia beranjak dari posisi jongkoknya. Ia menatap wajah Runa lama-lama sebelum beranjak pergi. Meninggalkan gadis yang tak sadarkan diri itu sendirian. Tak lama setelah vampir itu pergi, Runa terbangun dari pingsannya. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung dan heran. Kepalanya masih pusing. Matanya masih agak buram. Hanya kegelapan yang dapat ia lihat.

" Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini ? " gumamnya pelan.

"Runa, kau tidak apa-apa?" tanya Rave sambil duduk berjongkok di dekat Runa.

" Hah? " Runa menatapnya dengan bingung. Ia berdiri dengan bantuan Rave. Kepalanya masih sedikit pening. "Ya, aku rasa begitu. Sepertinya aku terjatuh tadi."

" Yakin? Sebaiknya kau pulang. Sudah hampir pagi. Aku akan mengantarmu pulang," kata Rave sambil tetap memegangi tubuh Runa . Ia masih khawatir dengan keadaan Runa yang sepertinya masih linglung.

"Em , tidak perlu repot-repot, senpai, " elak Runa masih dengan pandangan yang pening .

" Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan. " Rave tersenyum lembut. Runa tak bisa menolaknya karena Rave sudah memapahnya berjalan. Tangannya sudah melingkar di bahu Rave. Dan tangan Rave pun sudah melingkari pinggangnya.

" Kenapa kamu bisa ada di sini? " tanya Runa sambil menatap wajah Rave.

" Kebetulan. Tadi aku mengejar vampir. Dia berlari ke tempatmu berada tadi. Apa kau melihatnya? " Runa terdiam lama sebelum akhirnya menggeleng pelan. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi tadi, tapi ia tidak bisa mengingatnya sedikitpun.

" Aneh. Sepertinya dia vampir yang hebat, " gumam Rave. Runa tak menanggapinya lagi. Ia merasa benar-benar lelah. Apa mungkin gara-gara ia hanya makan mie instan malam ini?




Back-yard of Northless Palace, 3 a.m.


Seorang laki-laki berjalan pelan menyusuri jalan setapak di taman belakang istana. Mantel hitam yang membalut tubuhnya menjuntai sampai ke tanah yang tertutupi dedaunan maple kering. Rambut hitam kemerahannya yang acak-acakan dimainkan angin musim gugur yang nakal. Helai-helai rambutnya terkadang menutupi matanya. Rambut bagian belakang memanjang melewati batas kerah kemeja. Namun ia nampaknya tak berniat untuk memotongnya.

Krasak!

Mata beriris coklat keemasannya melirik ke arah belakangnya sekilas. Ia kembali sibuk menikmati pemandangan musim gugur di pagi buta. Wajah tampan dengan garis wajah tegas dan kulit pucatnya menampakkan ekspresi datar tanpa emosi. Hanya sesekali bibir tipisnya melengkungkan senyum kecil karena mengingat apa yang baru terjadi tadi.

"Yamada-sama, anda darimana saja? " tanya Marlion Jurotsuchi . Pemuda berambut hitam pekat itu berjalan pelan tepat di belakang laki-laki yang ia panggil 'Yamada-sama'. Mata beriris coklat kemerahannya menyiratkan kekhawatiran.

"Sudahlah, Marlion. Aku tidak suka dengan panggilan itu. Aku juga tidak suka gaya formalmu itu. Bisa kah kau bersikap normal seperti biasa? " tandas Yamada dengan nada datarnya.

" Ya, asal kau tidak kabur seenakmu sendiri, " sahut Marlion. Ia menyunggingkan senyum liciknya.

" Aku hanya menyelidiki beberapa hal sekaligus jalan-jalan mencari udara segar, " elak Yamada singkat. Ia menyibukkan diri dengan menatap rembulan di langit. Melihat sinar terangnya, ia jadi teringat pada gadis itu.

" Eh? Baumu aneh, Yama, " cetus Marlion tiba-tiba. Ia mencium bau yang tidak biasanya menguar dari tubuh Yama .

"Hnnn? Apa maksudmu? " tanya Yama tanpa mengalihkan tatapannya dari rembulan. Ia mulai berfantasi aneh. Ia merasa telah melihat wajah gadis itu terlukis di bulatnya rembulan.

" Tidak biasanya kau memakai parfum ini. Biasanya jeruk lemon atau melon kan? " Marlion menatap Yama tajam. Ia meminta penjelasan pasti dari teman baiknya itu. Apa temannya sudah berubah selera ? Atau ada hal lain yang menyebabkan bau Yama berubah.

" Tidak, aku- " Ucapan Yama terhenti saat ia mencium tangannya. Lantas ia mencium mantelnya untuk lebih memastikan aroma yang menguar kuat dari tubuhnya. Wangi yang berbeda. Padahal seingatnya, ia memakai parfum jeruk lemon hari ini.

" Amaryllis ? " sahut Marlion. Ia menatap temannya dengan tatapan geli. " Kau gagal kan? Aku yakin kau baru saja minum. Masih ada aroma darah yang manis dari bibirmu. " Yama terdiam . Ia menatap Marlion dengan tatapan datar. Seulas senyum simpul mengembang di bibirnya. "Hmm, begitulah. Ada darah yang sangat menggoda tadi."Marlion tertawa geli.

"Sudah ku duga kau akan gagal. Sebaiknya hentikan percobaan anehmu itu. Kau tidak bisa merubah kebiasaan kita untuk minum darah setiap hari dari tablet darah dan maksimal 1 mangsa setiap minggu. Kita adalah vampir dan darah adalah makanan utama kita."
Yama tersenyum sinis. "Aku hanya mencoba hal baru."

" Terserah kau saja. " Marlion menendang-nendang dedaunan kering tanpa semangat. "Jadi apa kau berhasil menangkapnya?"

" Tidak. Tapi aku kenal aroma mereka. "

" Mereka? Maksudmu lebih dari satu? " serbu Marlion cepat.

" Ya. Mereka itu teman kita. Aku akan memastikan semuanya pada mereka. Pasti ada alasan untuk ini semua. "

" Ya, pasti untuk menghidupkan dia, " gumam Marlion pelan.

" Dia? " tanya Yama.

" Ya, tentu saja Arthur-sama , pemimpin klan Kurochiki sebelum Sho-sama. Keadaan tak menyenangkan di kerajaan ini membutuhkan lebih dari satu vampir murni. Apalagi putri Arthur-sama menghilang. Sho-sama tidak mengatakan apapun mengenai itu. " Marlion melirik cemas ke arah Yama saat mengatakan putri Athur-sama menghilang. Ia merasa lega dengan ekspresi datar Yama yang tidak berubah.

"Memangnya Paman Arthur mempunyai anak ? " tanya Yama heran. Ia sama sekali tak ingat kalau paman Arthur-nya memiliki anak.

" Ya, kemungkinan besar sudah tewas, " gumam Marlion pelan. Ia tak ingin meneruskan pembicaraan berbahaya ini.

" Jadi itu alasan kenapa harus paman Arthur yang dihidupkan? Karena jasad putrinya tidak ada? "

" Mungkin. "



Hunter's Rules
1 "Don't kill vampire after 12 p.m."

The Last Pure-Blood Vampire | The Murderer part 1

Author : Haru Yamada .

Genre : Vampire .

CAST : Runacathra Fukuzawa As Yamashita Haruna .
       Seihan Kojichiru As Melinda Anindya .
       Yabu Kouta as Miura Odagaki ,

They never know what in behind of the forest...
They just think but never want to see...
Because they know that it is scared, dangerous and dark...
Never think to close there...
It is the real warning...
But there are many stupid human who never think for twice to close there...
And they will be injured...
Or died...



Horikoshi Hunter Gakuen

     Horikoshi Hunter Gakuen adalah sekolah dimana manusia yang memilih menjadi Hunter dilatih untuk melawan vampir. Walaupun sudah ada perdamaian di antara manusia dan vampire namun harus tetap waspada. Sudah menjadi rahasia umum jika Vampir Mud-Blood tidak menyukai perdamaian itu. Ditambah pula dengan kejadian berdarah 10 tahun lalu. Pembunuhan Bulan Sabit dimana hampir seluruh anggota klan Kurochiki dibantai. Manusia dan Vampir sangat menghormati klan Kurochiki karena klan itu lah yang menjadi jembatan perdamaian manusia dan vampir. Karena kejadian itu pula Vampir Mud-Blood diusir dari kerajaan vampir. Mereka bersembunyi di dua kota di antara Osaka dan Kyoto . Tidak ada yang tahu dimana tepatnya mereka berada. Karena status mereka yang menjadi buronan , memaksa mereka hidup dalam pelarian dan penyamaran . Kerajaan vampir dengan terbuka menganjurkan manusia untuk mendirikan sekolah hunter untuk melawan Vampir Mud-Blood. Tapi kerajaan vampir melarang manusia untuk keluar dari Osaka . Manusia hanya diperbolehkan ke Kyoto , kota terdekat dengan kerajaan vampire karena kota di antara kedua kota itu, yaitu Nerenka city dan Sanura city telah dikuasai vampir Mud-Blood. Kedua kota itu juga dianggap seperti kota mati karena tak ada manusia yang tinggal disana. Semua penduduknya telah mengungsi sejak 4 tahun lalu ke Kyoto dan Osaka . Manusia juga dilarang memasuki Oharo city apalagi masuk ke Vampire 'ZERO' Academy . Alasannya adalah karena vampire belum terbiasa dengan aroma darah manusia. Akan sangat berbahaya jika manusia terlalu dekat dengan vampire . Dengan kata lain ini untuk kebaikan manusia sendiri tepatnya keselamatan manusia dari serangan vampire yang haus.



Excellent Class 1, 9 a.m.

"Ruu-chan, kau sudah dapat jadwal tes menjadi anggota Departement of Hunter Spy ? " bisik seorang gadis cantik yang duduk di pojok kelas. Rambut pirangnya tergerai sampai ke pinggang. Mata beriris Hijau tozkanya melirik guru di depan kelas berkali-kali. Badge seragamnya tertulis namanya dengan jelas. Sheira Kojichiru .
Gadis yang dipanggil Sheira yang duduk di sebelahnya tetap bergeming . Mata beriris violet kemerahannya tetap tertuju pada buku di tangannya . Rambut coklatnya tergerai indah sampai ke pinggang. Badgenya tertulis Rukacathra Fukuzawa.

" Sebaiknya kau diam , " bisik Ruka dengan nada rendah yang pelan . Sheira menggembungkan pipinya karena kesal . Ia selalu gagal mengajak teman sekamarnya di asrama itu untuk mengobrol pada jam pelajaran . Segala cara telah ia lakukan , namun hasilnya selalu gagal . "Kau menyebalkan, Ruu-chan . Sulit sekali mengajakmu bicara pada jam pelajaran . Sebenarnya berapa besar sich cintamu pada pelajaran ? " Ruka tetap diam tak bergeming . Matanya menatap ke papan tulis di depan kelas juga sosok berwajah serius di dekatnya . Ia yakin tak lama lagi akan ada kapur melayang ke arah bangkunya , tepatnya ke arah Sheira. Miura Udagaki , atau biasa dipanggil Udagaki sensei adalah guru ahli penyamaran yang killer dan mempunyai disiplin tinggi . Karena alasan itu pula Ruka tidak menghiraukan ajakan mengobrol yang ditawarkan Sheira .
Pletak! Tepat seperti dugaan Ruka . Sebuah kapur melayang dan tepat mengenai kepala Sheira .

" Aduh ! Sakit ! " seru Sheira secara reflek.

"Nona Kojichiru berhenti mengobrol . Atau aku akan membatalkan tes Hunter Spy-mu ! " seru Udagaki sensei dengan wajah menakutkan . Rambut pirangnya yang digerai nampak sedikit kusut . Mata beriris hijaunya menatap tajam ke arah Sheira . Sheira buru-buru menunduk setelah matanya menangkap sosok Udagaki sensei sedang murka padanya . Ia bisa merasakan aura kelam berasal dari kemarahan Udagaki sensei . Pada akhirnya ia tahu akibatnya mengobrol saat pelajaran . Ia berjanji dalam hatinya kalau ia tidak akan mengulanginya . Setidaknya tidak pada pelajaran Udagaki sensei .

" That’s the reason why I don't answer your question , Sheira-chan ," bisik Yui singkat sebelum menatap kembali buku di tangannya dengan serius . Suasana hening kembali menguasai ruang kelas. Tidak ada yang berani mengacau di kelas Udagaki sensei . Karena konsekuensi yang harus diterima tidak bisa dianggap remeh . Pembatalan tes Hunter Spy.
Teng! Teng! Teng!

"Baiklah. Sampai disini pelajaran hari ini . Jangan lupa persiapkan diri kalian dengan baik untuk tes keanggotaan Hunter Spy kalian ," kata Miura Udagaki sambil merapikan buku-buku tebal yang tersebar di atas meja.

"Baik, sensei," jawab semua siswa dengan serempak . Keributan mulai terdengar saat para siswa mulai memasukkan buku-bukunya ke dalam tas . Ada yang mengobrol bahkan saling mengejek . Miura pun nampak tak terganggu sama sekali . Ia tetap sibuk merapikan mejanya yang bisa dikatakan sangat berantakan . Ia pun tak terlalu mempedulikan siswa yang berpamitan padanya . Saat ia mendongak sekilas untuk melihat jam, matanya menangkap sosok Ruka yang beranjak dari tempat duduknya . Seketika ia ingat akan urusannya dengan gadis beriris violet kemerahan itu.

"Ah, Fukuzawa. Bisa kau tinggal di kelas sebentar ? Ada yang ingin ku bicarakan denganmu ? " kata Miura cepat.

"Apa ? Saya ? " tanya Ruka kaget . Ia tak menyangka akan mendapat permintaan semacam itu dari Udagaki sensei.

" Ah , pasti dia ada maunya , Ruu-chan . Kau ingat beberapa bulan lalu dia memintamu menjadi relawan di Kyoto . Ah , sebaiknya aku kembali ke asrama . Aku tidak mau mendapat jatah extra dari Udagaki sensei," kata Sheira . Ia membereskan buku terakhirnya dan langsung kabur meninggalkan ruang kelas sebelum Ruka sempat menanggapi ocehan panjang yang keluar dari mulutnya .

" Dasar ! Seenaknya saja , " gumam Ruka dengan sikap temannya itu . Ia tahu betul sifat Sheira yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri jika sudah berhubungan dengan pelajaran dan sekolah .  Temannya itu selalu mengatakan keinginannya untuk segera lulus . Walaupun itu sedikit mustahil . Setidaknya mereka harus menunggu 1 tahun lebih untuk lulus dari Horikoshi Hunter Gakuen .

" Duduklah , Fukuzawa ." kata Miura sambil menunjuk kursi murid paling depan saat matanya melihat Ruka sudah ada di depannya .

" Baik , sensei ," kata Ruka sopan . Ia menarik kursi dari belakang meja dan membawanya mendekat tepat di hadapan meja Miura . Ia duduk dengan tenang tanpa berniat mengusik kesibukan Miura dalam merapikan meja .

" Ah , kau ada tes Hunter Spy nanti malam bukan ? " cetus Miura tiba-tiba . Ruka agak kaget mendengarnya . Ia hanya menjawabnya dengan anggukan . Ia memang dijadwalkan mengikuti tes nanti malam di Sorrowforest di dekat Orbitary village . Ia tidak tahu tes apa yang diujikan . Namun ia tidak akan menolaknya . Tes itu sudah diwajibkan bagi semua murid Excellent Class .

" Humm. Sebenarnya aku punya penawaran untukmu , " gumam Miura. Matanya menatap Ruka sekilas sebelum mengamati langit dari bingkai jendela .

" Penawaran apa , sensei ? " tanya Ruka tenang . Ia penasaran akan penawaran yang dibicarakan Miura . Ia merasa tertarik . Padahal ia tidak tahu macam apa penawaran itu . Mungkin menjadi relawan lagi . Tak masalah baginya . Ia senang membantu orang lain . Walaupun tugas relawan beberapa bulan lalu jauh dari angan-angannya . Hunter yang ahli membunuh vampire malah bertugas membersihkan taman kota Kyoto . Konyol dan menyebalkan bukan .

" Penawaran untuk sebuah misi . aku memilihmu karena kau berbakat dan nilai tesmu selalu baik . Tapi Riida tidak memperbolehkanku mengikutkanmu dalam misi ini . Padahal kau lah yang ku andalkan ," jelas Miura panjang lebar . Ruka mengerutkan alisnya . Ia tidak mengerti kenapa ayahnya - Riida Fukuzawa , melarangnya ikut dalam misi . Padahal ia yakin kalau ayahnya mendukungnya masuk Horikoshi Hunter Gakuen . Lalu kenapa sekarang ayahnya melarangnya ? Aneh .

" Kenapa ay- maksud saya Fukuzawa sensei melarangku ? " tanya Ruka masih dengan sikapnya yg tenang . Miura mengalihkan pandangan kembali pada Ruka . Ia bisa melihat keheranan di mata violet gadis itu . Sebenarnya ia juga tidak tahu pasti . Tapi ia yakin penyebabnya karena rasa takut Riida akan keselamatan putrinya .

" Mungkin dia khawatir padamu . "

"Tapi biasanya dia tidak melarangku . Memangnya seberapa besar bahayanya misi ini ? " tanya Ruka lagi . Ia tak puas dengan jawaban Miura .

"Tidak pasti ukuran berbahayanya . Tapi misi ini memang berbahaya ," gumam Miura pelan . Tersirat keraguan dalam ucapannya . Ia memang tidak bisa memastikan seberapa berbahaya misi kali ini . Ada satu hal yang membuat misi ini berbahaya . Yaitu tidak adanya data apapun yang bisa membantu pelaksanaan misi baik sasaran tempat maupun jangka waktu misi .

" Jadi, sebenarnya apa misi itu ? " tanya Ruka akhirnya . Ia tidak bisa menebak apa misi yang ditawarkan padanya kali ini . Tapi ia yakin ada sesuatu di baliknya .

" Humm , bagaimana kalau kau tanya saja pada Riida . Aku tidak enak mengatakannya padamu . "

" Kenapa ? " tanya Ruka dingin karena tidak terima dengan elakan Miura . Ia sudah sangat penasaran .

" Bagaimana ya . Kalau aku yang bilang kau pasti akan langsung menerimanya seperti biasa . Jadi tanya saja pada Riida , ya ," bujuk Miura . Ia sadar bukan hanya itu alasannya . Ia hanya takut jika Ruka menerima misi ini karena berhubungan dengan masa lalunya . Ia juga yakin kalau Riida akan memarahinya karena memberitahu Ruka . Tapi apa boleh buat . Ini misi penting dan mendesak . Hanya Ruka yang bisa ia andalkan .

"Baiklah , sayang padahal Sensei tahu betul aku tidak akan berhenti bertanya di saat aku dalam tahap super penasaran ," kata Ruka menatap tajam ke mata Miura . Dengan berat hati Miura mengangguk . Ia mengalah untuk ke sekian kalinya .

" Baiklah . Misinya adalah mencari buronan yang diperkirakan bersembunyi di Vampire 'ZERO' Academy . "

"Buronan ? Di Vampir 'ZERO' Academy ? " ulang Ruka tak percaya . Bagaimana mungkin ada buronan yang bersembunyi di Vampir 'ZERO' Academy ? Semua orang juga tahu betapa ketatnya pengamanan Akademi vampire itu . Tak mungkin ada buronan yang bisa bersembunyi di sana . Rasanya sungguh tidak mungkin dan sulit untuk dipercaya .

"Yeah , begitulah informasi yang kami dapatkan , " kata Miura . Ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju bingkai jendela . Mata hijaunya memandang lurus ke arah horizon langit yang berubah mendung . Aroma dedaunan musim gugur merangsek masuk ke dalam indera penciumannya .

"Tapi sulit dipercaya . Udagaki sensei tentu tahu seperti apa Akademi Vampire itu . Pengamanannya sangat ketat . Seekor kelinci pun sulit menyusup ke sana . Bagaimana mungkin buronan bisa ada di sana ? " jelas Ruka , untuk mempertegas ketidakpercayaannya . Ia ikut beranjak dari kursi dan berjalan mendekati Miura . Dengan santai , ia duduk di meja paling dekat dengan jendela . Ia sedikit merapatkan kakinya agar rok seragamnya yang hanya menutupi sampai lutut tidak tersingkap . Ia melipat tangan di depan dada . Menunggu argumen sensei-nya.

" Aku juga berpikir seperti itu , tapi itulah kenyataannya . Hunter Spy terbaik saat ini , Rave Kunihonshou sendiri yang melaporkan hal itu . Dia mengatakan kalau buronan itu keluar masuk ke dalam Academy dengan bebas , " jelas Miura panjang lebar . Ia menoleh ke arah Ruka dan menatapnya lama-lama . "Bagaimana menurutmu? " Ruka terdiam . Otak encernya sedang memproses penjelasan Miura . Ia tahu kemampuan Rave , seniornya di Horikoshi Hunter Gakuen itu , tidak diragukan lagi . Ia mengagumi seniornya itu . Jadi bisa dipastikan kalau Ruka mempercayai laporan Rave . Ia menyangga dagunya dengan kepalan tangannya . Bagaimana mungkin buronan bisa keluar masuk ke Akademi Vampire dengan bebas ? Ah , ia mengingat satu hal . Pertanyaan mendasar yang harusnya ia tanyakan sejak awal .

"Sebenarnya apa kasus kejahatan dari buronan ini ? Siapa dia ? " tanyanya dengan nada menyelidik .

"Ah , aku belum menceritakan itu rupanya ," cetus Miura setelah sembuh dari keterkejutannya akan pertanyaan Ruka . Ia menatap Ruka dengan mata berbinar senang . Ia tak salah menceritakan misi ini pada Ruka . Ia yakin murid kebanggaannya ini akan banyak membantu dalam tugas ini . Ia mengutuk sifat egois Riida yang menyembunyikan potensi besar dalam diri Ruka . 'Kalau Headmaster-sama tahu akan hal ini , dia pasti senang . Dan Riida akan dihukum . Ah, biar pria itu merasakan nikmatnya detensi , ' batinnya .

" Buronan itu sangat pandai bersembunyi . Kami hanya tahu kalau dia laki-laki dengan tattoo burung phoenix kecil di pergelangan tangan kirinya dan wajahnya selalu tertutup tudung mantelnya . Kami tidak tahu nama ataupun ciri-ciri lainnya . Semua tersamar dalam mantel besarnya dengan sempurna . Kami bahkan ragu dia benar-benar laki-laki  atau malah seorang wanita . Semua serba tak pasti . Hal itu yang membuat misi ini sulit diatasi . Kejahatannya adalah membunuh 13 penduduk di Orbitary village sebelum jam 12 malam dalam jangka waktu dua minggu terakhir . Korban diambil secara acak namun kesamaannya hanya golongan darah , yaitu B . Semua korban ditemukan tewas karena kehabisan darah dengan luka gigitan di leher bagian kanan," jelas Miura panjang lebar . Ia menatap Ruka lekat-lekat . Menanti analisa murid kebanggaannya itu . Yui terdiam sejenak .
"Siapa saja yang mengintai ? Siapa yang melihatnya di akademi vampire ? "

" Eh ? Ada Rave , Karen , Sean , Natasha dan Tony . Yang mengintai di dekat akademi adalah Rave dan Sean . Mereka hampir saja ketahuan , padahal mereka belum masuk ke dalam Oharo city ." Yui terdiam lagi . Mata indahnya menatap ke langit-langit ruangan kelas . Ada banyak pemikiran yang memenuhi otaknya . Ia menghela nafas singkat sebelum memulai analisanya.

"Aku yakin pelakunya vampire , kemungkinan besar Vampire Half-Blood . Itu jawaban kenapa dia bisa bebas keluar masuk ke dalam akademi vampire , lagipula gerbang akademi vampire adalah gerbang Oharu city juga . Dan penyerangan itu, aku rasa ada hubungannya dengan Triangle Darkness , " gumam Ruka tenang namun Ia nampak ragu dengan pernyataan terakhirnya .

" Hah ? Triangle Darkness apa ? " tanya Miura aneh . Ia tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Yui . Terkadang muridnya ini terlalu pintar untuk ukuran gadis yang belum genap 20 tahun.

"Sensei pernah membaca buku karangan John Ust Kurochiki , leluhur klan Vampir Pure-Blood Kurochiki? Judulnya 'The Forbiden Way for Safe Our Purity'. " Miura menggeleng pelan . Alisnya berkerut bingung .

" Aku pernah mendengarnya tapi tidak pernah membacanya. Buku itu terlalu tebal dan bahasanya aneh . "
Ruka tertawa pelan . Tangan mungilnya merapikan poni yang sedikit menutupi arah pandangannya.

 " Itu bahasa kuno Kurochiki . Hanya perlu konsentrasi untuk mengerti maksudnya . Ah , dalam buku itu tertulis 3 cara terlarang untuk menyelamatkan kemurnian klan . Ya , salah satunya kejahatan buronan tanpa nama ini . "

" Hah ? Aku tidak mengerti , Fukuzawa ." Miura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pasrah .

" Hehe , memang agak membingungkan , sensei. Biar ku perjelas . 3 cara itu adalah penyegelan , pembangkitan dan peleburan . Penyegelan itu bisa dibilang membuat tattoo Triangle Darkness atau menyegel darah vampire murni terpilih . Kalau pembangkitan bisa dikatakan membuka segel Triangle Darkness dengan pertukaran darah vampire murni terpilih dengan matenya . Dan terakhir adalah peleburan . Ini- " Ruka menghela nafas sebelum meneruskan . " Ini jalan pintas dengan mengumpulkan 99 sampel jenis darah bergolongan sama dalam waktu 3 sampai 4 bulan dari tempat berbeda secara berurutan . Dan kejahatan buronan ini mungkin untuk itu . Eh , apa ada tattoo helai sayap phoenix di tubuh korban ? " Miura mengernyitkan keningnya . Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya berseru keras.

" Ada ! Ada tattoo helai sayap tapi tidak jelas sayap apa . Letaknya di bawah tulang selangka . " Ruka pun mengangguk .

" Jadi kemungkinan besar ini dilakukan lebih dari 1 vampire . Aku penasaran siapa sebenarnya yang akan dibangkitkan ? "

" Hei , Fukuzawa . Bagaimana kalau kau ikut misi ini ? " tawar Miura . Ruka menanggapinya dengan senyum kecil.

" Entahlah . Kalaupun aku terima , aku harus lulus tes dulu kan ? "

To Be Continoue .. ^_^

Rabu, 11 Januari 2012

COULD IT BE ..... LOVE ??

CHAPTER 1 : Comeback . . . .

    7 tahun meninggalkan Jepang dan tinggal di swiss membuat yui sangat merindukan jepang . hari ini dia akan kembali dan mengabdikan dirinya untuk Negara sebagai specialis bedah . waktu menunjukkan pukul 9 malam saat yui check in tiket dan paspor di bandara swiss . butuh waktu hampir 8 jam menempuh perjalanan dari swiss ke jepang , namun itu tak berarti apa-apa selain dia kembali ke jepang . dia tau , kembali ke jepang sama dengan membuka luka lama bersama keito .

“ jadi , kau kapan sampai di jepang ? “ tanya nari , sahabat yui sejak SMA .

“ mungkin sekitar pagi , jam 6an . kau baik-baik dsana ? “ Tanya yui balik .

“ heem , aku baik-baik saja . sekarang aku dan keito bekerja di rumah sakit ayahmu , kau kerja disini juga kan ? biar kita bisa kumpul lagi . “ kata nari mengajak yui untuk bekerja di sana .

“ kuusahakan . aku masih belum memikirkan hal itu . aku akan ijin pada ayah untuk bekerja di sana . “ jawab yui tersenyum .

“ pasti paman mengijinkanmu untuk bekerja bersama kita disini . aaah , aku sangat merindukanmu . “ kata nari dengan suaranya yang manja .

“ heem , aku juga merindukanmu , dan juga keito . maafkan aku . “ kata yui menerawang keluar jendela pesawat .

“ daijoubu , aku bisa mengerti dengan keputusanmu dulu . soo , cepatlah sampai , aku dan keito akan menjemputmu di airport jam 6 . “ kata nari sebelum mengakhiri percakapan kita .

“ hai’ , arigatou . jyaa nee . “ balas yui dan akhirnya metutup telp dan kembali menerawang keluar jendela . butuh waktu untuk melewati ini semua . dia tahu , bukan hanya dia yang mengalami hal ini , keito adalah orang yang sama dengannya , melewati semua ini sendirian , dalam belenggu kehidupan yang terus berjalan . waktu berjalan tanpa bisa kau hentikan atau kau undur . dia berharap akan ada kebaikan dan hikmah dibalik ini semua , untuknya dan untuk keito . meninggalkan keito saat itu adalah keputusan yang tepat untuk mereka berdua karena yui tahu , bagaimana sakitnya keito saat dia mengetahui semuanya . Sebab akhirnya, kehidupan ini benar-benar terlihat seperti berada di tepian curam mimpi. Ada beberapa hari dimana dia merasa dia sudah terbangun dan menemukan kalau apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya tidak benar-benar terjadi . Pastinya dia adalah seorang putri dalam tidur yang mempesona. Beberapa hari kemudian , mimpi ini – bukan , mimpi buruk ini – akan berakhir, dan dirinya akan mendapati dirinya terbangun dari semua kenyataan ini .
tanpa terasa yui pun tertidur dalam perjalanan .

                                                                @@@@@@@@@@@

        Pukul 5 pagi yui sudah landing di Narita Airport . setelah mengecek semua barang bawaan dan paspor , dia menunggu nari dan keito di ruang tunggu VIP . yui sengaja tidak mengabari nari supaya yui bisa sedikit bernapas dan melepas rindu akan kampung halaman . yui tidak pernah terlalu memikirkan bagaimana dia akan menghadapi ini semua , meskipun terkadang dia punya cukup alasan beberapa bulan terakhir ini , tapi kalaupun dia memiliki alasan , dia tak pernah membayangkan akan seperti apa . sejam menunggu nari dan keito datang tak membuat yui khawatir sedikitpun . dia hanya perlu menghadapinya dan mengutarakan alasan apa yang sudah dia siapkan untuk mereka . saat sedang melamun , Iphone yui bergetar .

“ moshi..moshi...yui , kamu dimana ? aku dan keito sudah berada di tempat penjemputan . “ kata nari memberitahunya .

“ aku ke sana . tunggu sebentar . “ jawab yui seraya berdiri .

“ iiee , biar aku dan keito yang kesana . tunggu yah . “ kata nari langsung menutup telpon . dia menunggu nari dan keito sambil mendengarkan Ipod suffle yang selalu setia menemaninya .

Tap...

Tap...

Tap...

Terdengar suara langkah kaki seseorang yang mendekat ke tempatnya duduk . yui pun mendongakkan kepala dan dilihatnya nari bersama keito sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan bahagia . nari menghampiri yui dan langsung menghambur memeluknya .

“ yuuiiii....akhirnya kau kembali . aku sangat merindukanmu . jahat sekali kau meninggalkanku sendirian . apalagi aku sering bermimpi tentangmu . “ kata nari dengan suara bahagia campur lega dan khawatir .

“ gomen rii-chan . maaf aku sudah meninggalkanmu . “ jawab yui menenangkan nari yang masih memeluknya . semenit berlalu , akhirnya yui mengarahkan pandangan pada sosok pria sebayanya yang berdiri tak jauh darinya dan nari . cwo’ dengan badan tegap dan cukup berisi dengan rambut seleher serta memakai kaos dan jeans kesayangannya itu memandangnya dengan tatapan lembut , tatapan yang dulu selalu bisa membuatnya tenang dan nyaman apabila berada disampingnya .

“ kau tampak kurus . apakah disana kau sibuk sekali ? “ keito akhirnya angkat bicara sambil memandang yui .

“ not yet . butuh konsentrasi penuh apabila kau harus lulus dengan nilai yang memuaskan dari universitas yang cukup diperhitungkan di kancah internasional . yah seperti itulah . “ jawab yui pada keito .

“ kau disana baik-baik saja , kan ? “ tanya keito lagi , seolah-olah menekankan pertanyaan ‘kan’ pada yui karena melihat keadaan yui yang mungkin cukup mengenaskan .

“ i’m fine , i think . “ jawab yui kembali .

“ baguslah kalau disana kau baik-baik saja . welcome back to japan , yui . “ keito mencoba menyambut kedatangan yui dengan membuka kedua tangannya . yui pun berjalan kearahnya dan membalas pelukannya dengan hangat .

“ arigatou , keii-kun . “ balas yui dalam pelukannya . dia membelai punggung yui dengan lembut . (ati-ati yang baca pada envy semua ^__^.) . setelah cukup lama melepas kangen akhirnya mereka kembali pulang ke rumah untuk mengantar yui . jarak airport dengan rumah yui memang cukup jauh namun dia sangat menikmati perjalanan itu . yui adalah anak kedua dari pasangan dokter anak dan specialis bedah . ayahnya yang blasteran jepang-italy itu sudah memiliki rumah sakit yang cukup terkenal di jepang dan rumah sakit khusus penderita jantung di daerah osaka . ibu yui adalah dokter anak yang lumayan terkenal . yui memiliki seorang kakak laki-laki dan adik laki-laki dan perempuan . saat ini kakak yui sedang berada di jerman untuk melanjutkan kuliah S3 specialis anastesi . adik yui sama-sama masih duduk di bangku SMA , Horikoshi Gakuen .

“ bagaimana di sana ? menyenangkan kah ? “ tanya nari memecah lamunan yui .

“ yaah begitulah , disana suhu lebih dingin dan lebih sejuk . suasana disana pun cukup tenang . aku sangat senang tinggal disana . aku masih berencana akan kembali kesana , suatu saat nanti . entah berlibur atau menetap disana . “ jawab yui sedikit menceritakan kampung halaman barunya itu .

“ waah , kapan-kapan kau harus mengajakku kesana . aku belum pernah pergi keluar negeri , paling jauh Cuma ke china dan taiwan , itupun hanya untuk shopping , bukan tinggal atau menginap disana cukup lama . “ curhat nari iri .

“ pastilah . nanti aku akan mengajakmu ke sana , kalian berdua . “ janji yui pada nari . selama sampai di jepang , yui hanya menatapkan pandangannya pada pemandangan yang dilewati oleh mobil mereka . entah apa yang sedang dipikirkan yui sampai-sampai dia terus melamun dan tak mengindahkan yang lain . tanpa sepengetahuannya , keito terus memandangi mantan calon istrinya itu dari kaca . tak terasa sampailah mereka di sebuah rumah yang lumayan besar daripada rumah di sekitarnya . rumah dengan gaya jepang klasik berpadu dengan gaya eropa modern dan bercat putih itu siap menyambut sang pemilik rumah kembali dan menempatinya . di pintu itu , yui melihat sosok pria paruh baya berpakaian jas hitam dan tinggi yang berjalan kearahnya untuk menyambutnya datang .

“ selamat datang kembali , nona yui . senang bisa melihat nona sehat dan bahagia kembali kemari . “ sambut pria itu sangat ramah . yui hanya mengangguk dan langsung memeluk pria yang sudah menjadi pelayannya selama beberapa puluh tahun itu .

“ aku minta maaf atas semua keputusan dan perlakuanku selama ini . maaf aku meninggalkan paman dan keluarga ini dengan mendadak . “ kata itulah yang pertama keluar dari mulut seorang Aizawa Yui .

“ paman mengerti dan memaklumi dengan keputusan nona . apapun keputusan nona , selama itu membuat nona lebih baik dan positif untuk nona , saya akan mendukung nona . “ balas pria itu dalam pelukan yui .

“ arigatou , oji-chan . aku hanya bisa berkata seperti ini atas apa yang sudah aku lakukan . “ jawab yui masih dengan wajah datar .

“ daijoubu desu ka , yui-sama . “ balas pria yang dipanggil paman oleh yui itu .

“ arigatou , oji-chan . hhmm...oh iya , ayah dan ibu sudah berangkat kerja ? “ tanya yui saat masuk rumah .

“ ayah dan ibu nona sedang bertugas di indonesia , mereka mendapat tugas disana selama 1 tahun . jadi , selama yaha dan ibu nona di indonesia , nona lah yang memegang pimpinan rumah sakit Aizawa-sama . “ jawab pria yang bernama naoki tersebut .

“ ya sudah , tidak apa-apa , paman . biar nanti malam aku akan telpon ibu . akira dan seira sudah berangkat sekolah ? “ tanya yui yang melihat rumahnya sangat sepi .

“ 15 menit yang lalu mereka berangkat . hari ini mereka ada festival tahunan di sekolahnya . apakah nona mau kesana ? “ tanya naoki pada yui .

“ oh gitu . boleh saja . kasih waktu aku 15 menit , aku akan berangkat kesana , aku berangkat sama nari dan keito saja . “ jawab yui seraya tersenyum . paman naoki balas tersenyum dan meninggalkan yui bersama nari dan keito .

“ aku akan bersiap-siap sebentar . kalian tunggulah dulu . “ kata yui berjalan menuju kamarnya di lantai 2 .  sampai di kamar , yui kembali berhenti dan memandang sebuah ruangan yang sudah hampir 6 tahun dia tinggalkan . semua masih sama seperti saat terakhir ditinggalkannya , tampak rapi dan bersih . fotonya bersama keito saat tunangan pun masih berdiri rapi di meja samping tempat tidurnya . yui tak menyangka bahwa sekarang , dia kembali berdiri di kamar yang sudah hampir 26 tahun menemaninya dalam keadaan apapun itu . yui pun berjalan pelan menuju pigura yang berdiri di samping tempat tidurnya itu . diambil dan dipandanginya foto yang terpajang disitu . sudah hampir 5 tahun berlalu sejak kejadian itu namun yui masih menyimpan foto itu dengan rapi di kamarnya . yui memang masih sayang pada keito namun dia tidak dapat berbohong dengan dirinya kalau dia tidak ingin menyakiti keito dengan penyakit langka bernama gastroenteritis yang dideritanya sejak 6 tahun lalu . dan itulah alasannya yui meninggalkan keito dan meninggalkan semua yang ada pada dirinya dan memilih mengasingkan diri ke swiss sambil melanjutkan kuliah kedokterannya . saat ini penyakit yang diderita yui perlahan-lahan mulai berkurang tapi tidak bisa hilang total karena itu sudah bawaan sejak dia lahir dan sewaktu-waktu masih bisa kambuh . setelah cukup lama memandang foto itu , yui memindahkan pandangannya ke balkon kamar . sejenak dia merasakan angin yang masuk ke kamarnya yang mengayunkan rambut panjangnya itu . cukup melepas rindu dengan kamarnya , dia pun menuju kamar mandi untuk bersiap-siap menuju sekolah akira dan seira . setengah jam berlalu , akhirnya dia siap untuk berangkat dan turun menyusul nari dan keito yang sedang membaca majalah di ruang keluarga .

“ maaf membuat kalian menunggu lama . “ kata yui memecah kesepian di ruang keluarga .

“ daijoubu , kita sengaja memberimu waktu untuk melepas rindu sama kamarmu . sudah siap berangkat ? “ kata keito .

“ hai’ , douzo . “ kata yui . setelah berpamitan pada paman naoki , akhirnya mereka berangkat menuju Horikoshi yang berjarak kurang lebih 1 jam dari rumah yui . udara pagi itu masih sejuk dan sedikit dingin walaupun jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi . jalanan tokyo sudah padat dengan lalu lalang para pekerja , anak sekolah , ibu-ibu , dan yang lain . yui sangat merindukan saat-saat dimana dia harus berangkat menuju sekolah dari rumah dengan bus dan harus berjalan kaki setengah jam dari halte bus ke sekolah . rasanya suasana seperti itu akan sangat dia rindukan saat sudah bekerja nanti . selama hampir sejam tak terasa mereka ber 3 sudah sampai di gerbang Horikoshi gakuen . suasana sudah tampak ramai dengan lalu lalang siswa siswi , orangtua , bahkan beberapa siswa dan siswi dari beberapa sekolah tetangga . setiap ada acara di sekolah itu , selalu keramaian tak luput dari acara itu . yui , nari , dan keito pun memarkirkan mobil mereka di dekat lobby menuju sekolah itu . akhirnya mereka pun masuk dan menikmati keramaian yang terjadi di festival itu .

“ sepertinya mereka sedang sibuk , kita lebih baik mencoba menikmati acara ini aja dulu . “ kata yui memberi saran pada kedua sahabatnya itu .

“ ide bagus . lagian juga sepertinya acara kali ini lebih ramai dan lebih seru daripada acara-acara tahunan yang lalu . “ timpal nari sambil terus melemparkan pandangannya pada kedai-kedai dan stand-stand yang dibangun di sepanjang lorong sekolah itu . di tengah lapangan berdiri sebuah panggung yang cukup besar dan beberapa sound yang sudah siap untuk digunakan .

“ yui neechan ? “ sapa sebuah suara dari tengah lapangan . yui menoleh dan mencari sumber suara tersebut . ditemukannya seorang gadis dan anak cwo’ mungil yang memakai kaos seragam .

“ chinen...acchan..” sapa yui pada kedua siswa itu .

“ waah...necchan kapan datang dari swiss ? neechan makin cantik aja . “ tanya gadis yang bernama acchan itu .

“ neechan hari ini datang dari swiss . bagaimana kabar kalian ? “ jawab dan tanya yui .

“ genki desu . kita sedang ramai menyiapkan acara hari ini . oh iya , kira dan seira ada di aula , disana sedang ada pementasan kabuki dari kelas mereka tapi mereka tak iku manggung karena mereka sebagai manager kelas . “ kata chinen memberitahu yui tentang keberadaan adik-adiknya .

“ aaah sou ka . biarlah mereka bekerja dulu , necchan mau melihat-lihat kedai apa saja yang ada disini . oh iya , bagaimana keadaan paman dan bibi ? baik-baik aja ? “ tanya yui tentang keadaan orangtua chinen dan acchan .

“ hai’ , mereka semua sehat-sehat saja kok , nee . “ jawab chinen . orangtua yui dan orangtua chinen adalah sahabat sejak dulu .

“ aaahh , yokatta naa . ya sudah kalian kembali lah berkegiatan , neechan dan yang lain akan melihat-lihat stand-stand yang lainnya . ganbatte nee , minna . “ kata yui memberi semangat pada chinen dan acchan .

“ haaiii’ , arigatou neechan . “ jawab mereka semangat . akhirnya yui dan yang lain melanjutkan jalan-jalan mereka dan melihat-lihat acara tersebut . sambil melihat festival itu , yui pun kembali menerawangkan pikirannya entah kemana . tidak satupun dari semua ini terlihat nyata baginya . Siapa yang tahu ? Mungkin tidak . Mungkin ini sebenarnya pernah terjadi pada orang lain . Mungkin ini hanyalah sesuatu yang dia bayangkan. Mungkin dia akan segera bangun dan menemukan segalanya baik-baik saja . Mungkin semua ini hanyalah sebuah mimpi belaka . Tapi dia merasa , itu tidak . ini semua sudah terlihat nyata bagi dia dan seluruh hidupnya . jika kau tidak membuka mata , kau tidak akan pernah tahu bedanya bermimpi dan bangun . dan sekarang dia benar-benar tahu akan hal itu . yui pun tersentak dan kembali pada akal sehatnya bersamaan dengan nari yang menghampirinya sembari membawa sebuah takoyaki untuknya .

“ yui...ini untukmu . kau tadi belum sarapan jadi makanlah beberapa takoyaki ini untuk pengganjal perutmu . “ kata nari sambil memberikan 5 buah takoyaki pada yui .

“ haii’ arigatou . tapi aku masih belum lapar , sebenarnya . “ jawab yui pelan .

“ini hanya untuk pengganjal , bukan makanan berat . “ suara keito muncul dari samping yui .

“ oke , wakatta . arigatou minna . “ kata yui . antara enggan dan ingin , yui memakan takoyaki itu dengan sangat pelan dan mengunyahnya sepelan mungkin .

“ kau masih ingat , setiap akan festival sekolah , kita selalu kedapatan bekerja membuat mading dan menata kelas menjadi sebuah kedai yang nyaman untuk anak-anak . dan nari selalu paling bersemangat untuk memesan makanan untuk kedai kita . “ keito membuka percakapan antara dirinya dan 2 gadis di sampingnya itu .

“ dan kau keito...selalu menempatkan dirimu sebagai seorang ketua yang selalu menyuruh anak buahmu bekerja . “ protes nari pada keito .

“ karena dulu aku memang ketua kelas , jadi mau tidak mau aku harus menyuruh kalian bekerja . dan asal kau tahu , akupun juga bekerja sama dengan anak-anak yang lain untuk mendekorasi kelas . “ kata keito tak mau kalah dengan nari .

“ kita semua bekerjasama untuk membuat festival sekolah saat itu menjadi sangat meriah . “ yui akhirnya melerai ‘perdebatan’ antara nari dan keito .

“ yah , kita semua . “ jawab nari dan keito akhirnya .

“ sudahlah , kita jalan-jalan lagi aja . masih banyak tempat yang bisa kita kunjungi . “ saran yui pada mereka .

“baiklah , kemanapun kau pergi , kami akan menemanimu . “ kata nari menggandeng sayang lengan yui . yui pun tersenyum pada nari . waktu semakin berjalan dan yui menikmati waktu itu dengan sebaik-baiknya . jam 1 mereka berhenti di sebuah kedai yang menjual bento dan makanan berat lainnya . setelah memesan makanan , mereka pun kembali melanjutkan obrolan mereka . banyak sekali cerita yang mereka sharingkan selama menunggu pesanan .

“ secepatnya kau harus mulai bekerja di rumah sakit paman aizawa karena hanya kau saat ini yang bisa menggantikan paman untuk sementara . “ kata keito disela makan siang mereka .

“ ya aku tahu , secepatnya aku akan mulai bekerja disana . nanti malam aku akan bicara dengan ayah dan semoga ayah bisa mengijinkanku bekerja disana . bagaimana keadaan rumah sakit ? “ tanya yui tentang perkembangan rumah sakit milik ayahnya itu .

“ semua berjalan lancar , saat ini pimpinan rumah sakit sementara dipegang oleh dokter yamada , dia asisten paman sekaligus specialis jantung . selama paman gag ada , dia yang menjadi pimpinannya . setelah kamu bekerja disana , dia akan menjadi partnermu . dia adalah dokter yang pintar dan baik . kau beruntung memiliki partner seperti dia . “ kata keito memuji cwo’ bernama yamada itu .

“ sou ka naa ? semoga aku bisa bekerjasama dengannya . “ jawab yui singkat . dia belum bisa banyak bicara tentang calon partnernya itu . kembali mereka melanjutkan makan siang dan sesekali mengobrol santai .
  
      Sorenya , yui bersantai di balkon rumah sambil menikmati segelas cokelat hangat yang dibikinkan oleh naoki sore ini . ditemani laptop apple putih miliknya , yui mulai menulis sebuah tulisan berupa novel pendek yang dia buat dikala waktu senggang atau hari libur . sudah menjadi hobby yui menulis sebuah cerita atau novel pendek dan kadang dia mencoba menerbitkannya di blog pribadinya . lumayan banyak respon yang datang tentang ceritanya tersebut . disela-sela menulisnya , dia mencoba menghubungi ayahnya yang berada di indonesia itu .

“ hello ? “ tanya sebuah suara pria paruh baya dari seberang telpon .

“ dad , it’s me . “ kata yui perlahan , takut membuat ayahnya kaget dan kembali kecewa .

“ yui ? it’s you ? “ kembali ayahnya mencoba meyakinkan dirinya bahwa suara yang sedang menelponnya itu adalah suara putri kesayangannya itu .

“ yes , dad it’s me . aku sudah kembali dari swiss tadi pagi dan sekarang aku di rumah . bagaimana kabar mom and dad ? “ tanya yui . dia sangat merindukan suara bijaksana itu .

“ Thank’s God . terima kasih kamu sudah kembali ke jepang . bagaimana sekolahmu ? “ kata Aizawa Carlisle , ayah yui .

“ ayah tidak perlu mengkhawatirkanku . aku pulang bersama nari dan keito .  aku lulus dengan nilai 3,75 . dan sekarang aku memutuskan kembali untuk bekerja di jepang . “ jawab yui .

“ keito sudah membicarakan tentang posisi dad di rumah sakit ? “ tanya sang ayah pada putrinya itu .

“ keito sudah membicarakan semuanya denganku tadi , makanya sekarang aku menelpon  dad dan ingin membicarakan hal itu . “ kata yui sambil melanjutkan mengetik novelnya .

“ mungkin naoki sudah menyampaikan pesan dad padamu . dad dan mom akan berada di indonesia selama setahun dan otomatis pimpinan rumah sakit kosong . dad ingin kamu yang memegangnya karena cuma kamu yang bisa . Daniel masih berada di jerman sedangkan adik-adikmu jelas tidak mungkin karena mereka masih sekolah . satu-satunya jalan adalah kamu , sayang . kamu tenang saja , ada yamada yang akan membantumu selama menjadi pimpinan disana . yamada adalah partner yang bagus buatmu , serahkan semuanya sama dia . besok dia akan bertemu denganmu di rumah . nanti malam dad akan memberitahunya . “ kata carlisle lembut pada yui .

“ yes , dad . apapun permintaan dad akan kujalankan . terima kasih karena dad masih mempercayaiku , padahal aku sudah banyak mengecewakan dad dan keluarga kita . sorry , dad . really . “ kata yui yang bernama asli Aizawa Emily itu .

“ don’t make you’re fault . ini semua terjadi dengan cepat tanpa bisa kita rencanakan dan kita waspadai . dad bisa mengerti keputusanmu . oh iya , kemana kira dan seira ? “ tanya ayahnya kembali .

“ don’t know . mungkin mereka ada di kamar . aku juga belum bertemu dengan mereka . tadi aku sempat mampir ke sekolah mereka karena ada festival tahunan tapi aku sengaja tidak menemui mereka karena sepertinya mereka sibuk . “ kata yui sambil berjalan menuju tangga untuk makan malam .

“ yah sudah , kalau kamu bertemu dengan mereka , salamkan salam dad dan mom . jaga adik-adikmu . mom and dad sayang kalian . “ kata carlisle mengakhiri percakapannya dengan yui .

“ yes dad . it must . love you too , dad . take care . “ jawab yui singkat dan menutup telponnya . akhirnya dia menuruni tangga dan menuju ruang makan namun betapa kagetnya dia saat melihat kedua adiknya sudah disana sambil membawa buket mawar favoritenya .

“ welcome back , my sista . “ sambut seira yang fasih berbahasa inggris dan perancis itu .

“ welcoma back , sis . we miss you so much . “ timpal kira , adik cwo’ yang tampannya mirip seperti sang ayah .

“ thank’s guys . sorry for all my fault . “ selalu . kata-kata itu yang meluncur dari mulut mungil yui . dia tahu , kesalahannya tak cukup hanya dengan kata-kata ‘sorry’ dan ‘maaf’ .

“ it’s ok nee , kita bisa menerima hal itu . memang kita sempat kecewa tapi dad bilang sama kita “ kalau memang itu keputusan yui , walaupun keputusan itu harus menyakitkan , mungkin itu keputusan terbaik untuk dirinya . dad yakin , yui tidak akan memutuskan sesuatu hal hanya dengan emosi dan pemikiran sesaat . akan lebih baik kalau dia memang harus pergi dari sini “ . itulah kata-kata dad selang 3 hari setelah acara pertunangan neechan dengan keito niichan . jujur aku sempat marah dan mengutuk diriku agar tak seperti neechan tapi aku tau itu salah dan aku tak seharusnya seperti itu pada kakak kandungku . sekarang kita berdua yakin dan percaya pada apapun yang neechan putuskan karena itu pasti yang terbaik dari segala keputusan yang baik . maafkan kita karena sudah berfikir jahat sama neechan . “ kata seira jujur sambil memeluk erat yui .

“ mee too . neechan sudah siap dengan segala resiko dan keadaan yang ada . neechan memang sudah siap kalau suatu saat , saat neechan kembali , harus menerima kenyatan kalau kalian membenci neechan . kalian sudah sewajarnya berfikir seperti itu sama neechan . “ jawab yui tegar . dia tahu ini salahnya tapi dia pun tahu , alasan sebenarnya apa dibalik semua ini , jadi yui sudah menyiapkan semuanya sejak dulu .

“ sis , you’re the best sistar i’ve ever had and i can do anythink to protect you dan believe all you’re choice . “ kata kira sembari memeluk yui , dan sekarang saudara kandung itu kembali bersatu dalam pelukan hangat yui .

“ Thank’s all . “ hanya itu kata-kata yang bisa yui ucapkan atas semua penerimaan yang bagi dia itu semua diluar kehendaknya . yui sangat bersyukur , dia masih diterima di keluarga ini dengan sangat baik dan masih menyayanginya , setelah semua yang dia lakukan pada keluarga ini , terutama mom and dad .

“ okeh , have already and now we must celebrate for coming back we beloved sister . “ kata kira sambil mencolek hidung yui .

“ kalian gag seharusnya melakukan hal ini . kalian semua menerimaku kembali saja sudah hadiah terbaik untukku . “ kata yui duduk di samping seira .

“ ya nee kita tahu tapi apa salahnya kita sedikit merayakan kembalinya nee . sudah , kita langsung makan aja . aku udah laper banget neech . tadi di sekolah , aku dan kira sibuk banget jadi lupa buat makan . paman naoki , arigatou untuk makan malam kali ini . “ kata seira menoleh pada pelayan setia mereka itu .

“ anytime , seira-sama . “ balas naoki seraya menunduk .

                                                                  @@@@@@@@@@@@@

    Besoknya sekitar pukul 8 pagi , yui sudah siap dengan setelan kemeja putih dan rok hitam selutut lengkap dengan jas dokter miliknya yang dia bawa dari swiss . untuk sementara dia akan memakai jas itu sampai jas resmi dari rumah sakit jadi . semalam yui tidak bisa tidur hingga pukul 1 malam karena dia sudah terbiasa berjaga malam di rumah sakit jadi sekarang dia baru bisa tidur sekitar pukul 1 malam . sarapan sudah siap di meja saat yui sampai di ruang makan .

“ maaf aku bangun kesiangan . aku jadi tidak bisa mengantar seira dan kira berangkat sekolah . “ kata yui pada naoki yang pagi itu membuatkan omelet keju kesukaan yui .

“ tidak apa-apa , nona . mereka semua sudah mengerti dengan pekerjaan nona . hari ini dokter yamada akan datang pukul 9 pagi dan rencananya nona akan berangkat ke rumah sakit bersama dia . selama beberapa hari ke depan , nona akan mempelajari semua berkas-berkas dan laporan selama 3 bulan lalu dan akan ada beberapa berkas yang juga akan nona tanda tangani . “ lapor naoki pada yui tentang schedulenya yang belum apa-apa sudah mulai padat .

“ wow , it’s time to busy . “ komentar yui atas schedulenya tersebut . naoki hanya tersenyum sembari membungkukkan badan . setelah sarapan , yui menuju ruang keluarga dan membaca majalah The Times , bacaan yang sudah menjadi kebiasaannya saat di swiss . yui bukan hanya fasih berbahasa inggris , jepang dan perancis , namun dia juga bisa berbahasa belanda dan italy . itu karena sang ayah memiliki darah italy . tak terasa pukul 9 pun tiba dan sebentar lagi yama akan datang untuk menjemput yui .

“ maaf mengganggu nona , dokter yamada sudah datang . “ kata naoki pada yui .

“ ya sudah , suruh dia masuk . aku akan bersiap-siap . “ jawab yui seraya berdiri . naoki hanya mengangguk dan pergi meninggalkan yui untuk kembali menemui yama di ruang tamu . beberapa menit kemudian yui muncul di ruang tamu .

“ maaf membuatmu menunggu lama . “ sapa yui pada yama yang pagi itu memakai kemeja biru dan dasi putih .

“ daijoubu . hajimemashite yamada desu . yoroshiku nee , yui-san . “ balas yama seraya memperkenalkan diri .

“ iiee’ , jangan memanggilku yui-san . kita seumuran , jadi panggil aja aku yui . yui desu , yoroshiku nee . senang bisa berpartner denganmu . “ balas yui ramah pada yama .

“ hai’ , yui-chan . boleh ? “ ijin yama untuk memanggilnya memakai panggilan –chan .

“ daijoubu , yama-chan . “ balas yui singkat . akhirnya mereka pun berangkat menuju rumah sakit yang ternyata cukup jauh dari rumah . selama perjalanan , yui dan yama tak banyak bicara . yama sibuk mengutak atik Ipad nya sedangkan yui asik dengan pikirannya yang menerawang entah kemana . ini adalah awal baru untuk dirinya , kembali ke jepang dan akan memulai semuanya kembali dari awal di kota kelahirannya . sekilas yui melirik yama dan beberapa berkas yang berada di tengah-tengah mereka dan kembali memandang keluar jendela .