Minggu, 11 Maret 2012

The Last Pure-Blood Vampire || The Forbiden Experiment part 1

2nd Rules of Seven Rules
"Vampire can't kill hunter who guard human except hunter avoid the hunter's rules."


When your destiny come to you, you can't run from that.
Although you don't believe it, you must know if you can't change your destiny whatever you do.


Department of Hunter Spy, 8 a.m.


"Jadi apa rencanamu, Miura?" tanya seorang pria berambut hitam di hadapan Miura. Wajah kakunya tersaji di depan Miura dengan angkuh. Mata beriris birunya menatap Miura dengan tatapan menindas. Dia adalah pemimpin Hunter Spy, Jack Bishihana.

"Kau tidak perlu memasang wajah menggelikan semacam itu. Aku sudah kebal," kata Miura dengan nada sambil lalu.

Jack tersenyum sinis. "Jangan membuatku marah , Udagaki. Cepat katakan apa rencanamu !"

Nada memerintah yang tak bisa dibantah mulai keluar dari mulut Jack. Miura hanya mendengus kesal. Ia menyodorkan map biru ke hadapan Jack tanpa rasa hormat sedikitpun.

"Itu surat untuk Dewan Vampir. Itu langkah pertamanya . Langkah seterusnya belum ditentukan karena menunggu reaksi Dewan Vampir terlebih dahulu."

"Apa maksudmu? Memangnya kertas ini bisa memberi efek apa pada mereka, hah? " tandas Jack tanpa ampun. Ia menatap Miura dengan garang. Ia merasa dipermainkan dengan rencana konyol Miura.

"Sudahlah. Ikuti saja apa rencanaku. Semua resiko biar aku yang menanggung," kata Miura cepat.

Jack hanya menghela nafas panjang. Ia masih ragu untuk menyetujuinya. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Pemerintah harus konsisten dalam menangani kasus apapun termasuk kasus ini. Kejahatan ini tergolong kejahatan besar dan pemerintah tidak akan setuju jika kasus ini tidak segera ditangani. Apalagi Perdana Menteri sudah memintanya untuk menyelesaikan kasus ini sampai tuntas.

"Huh, baiklah. Lakukan sesukamu." Jack mengembalikan map yang tadi diberikan kepadanya. Kembali pada pemiliknya.

"Siapa yang kau pilih untuk ke sana? Tidak mungkin kau ke sana sendirian?"

Miura tersenyum puas. "Tentu saja aku akan mengajak beberapa orang. Aku tidak akan berani ke sana sendirian. Tempat itu menakutkan walaupun Dewan akan menjamin keamananku di sana."

"Ck. Tentu saja Dewan Perwakilan Vampire akan menjamin keselamatanmu. Jadi siapa yang kau ajak? " Jack hanya menggeleng kesal. Semua orang juga tahu kalau Dewan Perwakilan vampir akan menjaga keselamatan tamunya. Bagaimana pun juga manusia tetap relasi berharga bagi mereka.

"Rave Kunihonshou dan Runacathra Fukuzawa."

"Fukuzawa? Maksudmu anaknya Riku Fukuzawa? Kau gila!"



The Boundary of Sorrowforest, 11.00  p.m.



"Aku dengar kau akan ke Kerajaan Vampir dengan Rave senpai dan Udagaki sensei. Benar tidak?" tanya Seihan . Ia dan Runa sedang bertugas di perbatasan hutan Sorrowforest. Mereka berjalan menyusuri pinggiran hutan. Mereka memegang senter di tangan masing-masing.

"Ya. Besok aku berangkat," kata Runa dengan nada sambil lalu. Matanya memandang sekitarnya dengan waspada. Ia menyorotkan senternya ke arah pepohonan lebat di samping kanannya.

"Hah? Besok? Berapa lama? " sahut Seihan dengan cepat. Ia menatap Runa lekat-lekat.

"Tidak lama. Hanya satu atau dua hari. Kami hanya mengantar surat, " jawab Runa. Ia berhenti berjalan secara tiba-tiba . Matanya menangkap setetes darah di atas dedaunan kering.

"Ada apa, Naa-chan?" tanya Seihan heran saat melihat Runa berhenti tiba-tiba. Runa tak menjawab. Ia duduk berjongkok di dekat dedaunan kering , yang ia perhatikan. Sinar senter menyoroti daun yang ada darah di atasnya. Tangannya terulur untuk mengangkat daun itu. Ia membauinya dengan seksama. Jari telunjuk kanannya mencolek sedikit dari volume darah di atas daun.

"Sepertinya ini darah manusia. Masih hangat," kata Runa pelan. Dengan cepat ia menyinari pepohonan di sekitarnya.

"Darah manusia? Apa mungkin ada serangan? " tanya seihan dengan nada khawatir. Ia ikut menyinari pepohonan di sekitarnya dengan senter di tangannya.

"Naa-chan, sepertinya di sana ada sesuatu, " kata Seihan pelan. Ia menyinari dedaunan yang tak jauh dari tempat mereka berada. Runa ikut menyinari tempat yang dimaksud Seihan. Ada siluet sosok manusia di sana. Ia melirik Seihan yang juga sedang meliriknya. Keduanya saling menyunggingkan seulas senyum kecil. Tanpa dikomando, keduanya langsung berlari mendekati sosok itu. Seihan langsung mengecek nadi di leher dan tangan sosok manusia berjenis kelamin laki-laki. Darah sudah berhenti mengalir di tubuh laki-laki itu.

"Dia sudah mati, mungkin-" Seihan menghentikan kalimatnya karena ragu.

"-sudah sejak 5 menit yang lalu," lanjut Runa . Ia menatap luka koyakan di kaki dan tangan korban. Cakaran memanjang juga menghiasi leher korban. Dada korban juga berlubang. Jantungnya menghilang.

"Pelakunya zombie level S." Seihan menyiapkan pisau bedah dari dalam tas kecilnya.

"Zombie itu belum terlalu jauh. Kita harus waspada. Sebaiknya kau bunuh dia secepatnya sebelum dia menjadi zombie level H," jelas Runa. Ia sudah mengeluarkan pistolnya dan mempersiapkan peluru khusus untuk membunuh zombie. Ia sudah bersiap di posisi siaga dan siap menyerang.

"Serahkan padaku," kata Seihan sambil tersenyum lebar. Ia juga sudah siap dengan pisau dan sarung tangan di kedua tangannya. Ia menusuk bagian perut di bawah tulang rusuk terbawah. Menggerakkan pisaunya segaris dengan tulang rusuk lalu ke atas. Darah langsung terciprat keluar. Ia segera mengambil kapsul antibodi yang tadi ia siapkan. Ia membuka tutup kapsul lalu menuangkan isinya tepat ke atas hati korban. Antibodi itu berguna untuk melawan racun zombie yang mulai menyebar di tubuh korban.

Srak!! Runa langsung berdiri dengan mengacungkan pistol ke arah pepohonan di bagian kirinya. Mata jelinya menangkap bayangan di balik pohon. Ia yakin itu zombie. Mayat hidup yang menyukai jantung manusia. Ia melirik Shara. Dengan isyarat mata ia menyuruh Seihan membereskan peralatannya. Seihan mengangguk setelah menerima isyarat selanjutnya bahwa zombie yang ada di dekat mereka tidak hanya satu.

Srek! Dor! Runa langsung menarik pelatuk begitu mendengar gerakan kaki menginjak daun kering. Peluru keperakan meluncur dari moncong pistolnya dengan cepat. Brugh! Satu zombie sudah tumbang di atas tanah. Begitu temannya mati, zombie lain langsung keluar dari tempat persembunyiannya. Runa langsung menarik pelatuk lagi. Dor! Brugh! Zombie kedua juga tumbang. Dor! Dor! Dua zombie yang tersisa jatuh ke tanah dengan bersamaan.

"Mereka zombie baru. Sangat ceroboh," kata Runa pelan.

"Ya-" Brugh! Tubuh Seihan langsung terjatuh di tanah saat ada yang memukul tengkuknya. Runa langsung berbalik sambil mengacungkan pistol begitu melihat Seihan terjatuh di sampingnya. Mata violetnya menangkap sosok vampir di hadapannya.

"Tenang, Nona. Aku hanya kebetulan lewat," kata vampir berambut hitam sebahu. Mata coklat kemerahannya menatap Runa tanpa minat. Ia sedang berusaha kabur secepatnya. Namun ada yang menghalangi jalannya. Hunter dengan reflek cukup bagus.

Runa mengerutkan keningnya. Matanya menyipit. Memandang vampir itu dengan curiga. "Untuk apa vampir berkeliaran di sini sebelum jam 12 malam? "

Vampir itu tersentak agak kaget. Namun ia segera memasang wajah tenangnya lagi. "Ah, hanya jalan-jalan di hutan."

Alasan konyol untuk membuat Runa percaya. Ia menatap vampir itu dengan tajam. Matanya menyipit ke arah bibir vampir itu. Tidak ada yang aneh sekilas. Namun jika diperhatikan lebih detail, ada noda darah di sana. Hanya sedikit namun cukup membuat Runa curiga. Ia bersyukur bulan bersinar terang malam ini.

"Kau pelakunya kan? " kata Runa dengan nada tajam. Ia tidak bertanya namun menegaskan.

"Pelaku apa? Aku tidak mengerti, " kata vampir itu heran.

"Tidak perlu mengelak. Jadi sudah ada 15 kan? Perlu 84 lagi kan? " pancing Runa dengan nada meyakinkan.

"Apa maksudmu? " tanya vampir itu dengan kesal. Ia mulai terusik dengan penuturan Runa .

"Aku penasaran sejak awal ulahmu . Sebenarnya siapa yang ingin kau hidupkan dengan peleburan ini? " Vampir itu diam dengan wajah mengeras. Reaksi vampir itu membuat Runa senang. Tanpa menunggu lebih lama, ia meneruskan argumennya.

"Kalau dari golongan darah yang kau pilih sepertinya dari klan Kurochiki. Jadi siapa dia ? " Vampir itu menggeram marah. Ia menatap Runa dengan tajam. Iris matanya semerah darah. Ia sedang marah.

"Kau terlalu banyak bertanya, Nona! " Vampir itu bergerak mendekati Runa dengan menyeringai licik. Seringaian yang menunjukkan kedua taring tajamnya. Taring yang siap mengoyak leher Runa. Vampir itu semakin mendekat pada Runa . Sementara gadis itu tetap menodongkan pistol walaupun dengan tangan bergetar. Ia mundur selangkah. Setelahnya kakinya merinding hebat. Wajahnya memucat. Tanpa aba-aba, vampir itu bergerak cepat untuk menerjang Runa . Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat karena takut.

Buagh! Tubuh vampir itu terlempar jauh dan menubruk pohon di belakangnya. Ia meringis kesakitan dan menggeram marah.

"Apa yang ka-" Kata-katanya terhenti saat matanya menangkap sesosok vampir lain yang ia kenal. Tubuhnya terasa kaku. Ketakutan terpancar jelas dari kedua matanya.

"Yamada-sama, " gumamnya dengan suara tercekat. Runa membuka matanya perlahan. Ia tidak merasakan apapun. Ia merasa tubuhnya baik-baik saja. Bahkan ia mendengar suara seseorang menghantam sesuatu dengan keras. Ia mengerjapkan matanya dengan bingung saat melihat vampir itu terduduk jauh di hadapannya. Vampir itu nampak ketakutan di matanya.

"Apa yang ter-Ahh! Apa yang kau lakukan?" Runa yang hendak bertanya mengenai apa yang terjadi langsung mengubah kalimat tanyanya saat ada sepasang tangan kekar memeluk pinggangnya dengan erat. Sensasi dingin meresap ke dalam tubuhnya saat ia menyentuh tangan itu.

"Le-lepaskan! " pintanya dengan suara tercekat. Tanpa bisa ia cegah, jantungnya terus berpacu cepat. Perutnya terasa penuh oleh kupu-kupu. Tangannya yang menyentuh tangan itu mulai berkeringat dan merinding. Darah di pinggangnya terus berdesir aneh. Wajahnya pun terasa memanas. Rona kemerahan memenuhi wajahnya.

"He-hei! Le-lepas- " Brugh! Tubuh Runa merosot jatuh ke tanah, namun tangan kekar itu menariknya, dan menopang tubuh lemah Runa agar tidak terjatuh ke tanah.

"Yamada-sama, ma-maaf a-"

"Sebaiknya kau lebih berhati-hati, Rolfer. Kau hampir melanggar aturan, " potong vampir yang menahan tubuh Runa . Vampir berambut hitam kemerahan itu menatap tajam ke arah vampir yang ia panggil Rolfer. Ia tidak menyangka kalau sepupunya akan seceroboh ini.

"Sejak kapan kau tahu, Yama? " tanya Rolfer sambil bangkit dari duduknya.

"Hnn? " Vampir yang dipanggil Yama itu hanya bergumam tidak jelas. Ia menghirup aroma Amaryllis yang menguar dari tubuh Runa . Ia membenarkan letak tubuh Runa yang bersandar pada tubuhnya. Ia menyelipkan tangan kanannya di lipatan lutut Runa dan tangan kirinya di leher bawah Runa . Ia mengangkat tubuh mungil Runa dalam gendongannya .

"Sudah lama aku menduganya. Jadi sebenarnya siapa yang ingin kau hidupkan? " tanya Yama dengan nada datar. Matanya masih tertuju pada Runa . Wajah Runa yang merona merah.

Rolfer tidak terlalu kaget. Ia sudah mengiranya. Ia sadar kalau ia tidak akan bisa menyembunyikan sesuatu dari sepupunya. Sepertinya ia memang harus menceritakan percobaan gilanya kali ini pada sepupunya.

"Sebenarnya aku hanya main-main. Kalau pun berhasil, aku ingin menghidupkan paman Arthur." Rolfer berjalan mendekati Yama .

"Hmm ? Begitu. Kau tidak sendiri, bukan? " Yama masih menggendong Runa di atas kedua tangannya. Ia merasa tidak membawa beban apapun di tangannya. Tubuh gadis itu terlalu ringan.

"Ya, aku dan Rina yang melakukan ini semua. Jadi apa kau akan melaporkan kami kepada ayahmu? " Rolfer sudah berhadapan dengan Yama. Ia mengamati tingkah Yama yang terus memperhatikan gadis di gendongannya.

"Tidak. Aku rasa ini bukan masalah besar. Mungkin ayah akan memakluminya, " kata Yama . Ia menegakkan kepalanya dan langsung menatap tepat ke manik mata Rolfer.

"Tapi aku dan Rina sudah membunuh 15 orang sampai hari ini. Setahuku manusia menganggapnya sebagai kejahatan besar," kata Rolfer. Ia nampak ragu untuk mengatakan argumennya.

"Jujur saja aku tidak peduli pada manusia. Bagiku mereka tetap saja mangsa bagiku. " Yama mengatakan itu dengan nada dingin . Ia tak menyembunyikan ketidaksukaannya pada manusia. Baginya manusia hanyalah pemasok darah. Manusia terlalu lemah dan selalu merepotkan vampir.

"Eh, jadi apa yang harus ku lakukan? Apa ini perlu dihenti-"

"Tidak perlu. Lakukan sesukamu. Aku akan membantumu kalau ayah marah. Siapa tahu paman Arthur bisa benar-benar dihidupkan, " potong Yama sebelum Rolfer menyelesaikan kalimatnya.

"Baiklah." Rolfer mengalihkan pandangannya pada Runa dan Seihan. Dua sosok manusia yang sama-sama tak sadarkan diri. " Eh, tapi bagaimana dengan kedua gadis manusia ini?"

"Hapus ingatannya." Yama meletakkan tubuh Runa ke atas dedaunan kering. Ia segera meletakkan tangannya di kening Runa . Sinar merah berpendar sekilas sebelum menghilang. Ia menepuk-nepuk pipi kanan Runa dengan lembut.

"Jika aku bertemu denganmu untuk ketiga kalinya, aku tidak bisa menghapus ingatanmu lagi, " gumam Yama pelan. Rolfer melakukan hal yang sama pada Seihan. Menghapus ingatan gadis itu. Ia sedikit heran mendengar penuturan Yama .

"Bukannya kau tidak peduli pada manusia. Lalu kenapa kau bersikap selembut itu padanya? "

Yama tersenyum sekilas. "Entahlah. Dia berbeda. Hanya itu penjelasanku." Rolfer tertawa kecil. "Aku tidak tahu kalau Pangeran Kerajaan Vampir bisa seperti ini."



Northless Palace, 8 a.m.

"Ada hal penting apa yang ingin anda bicarakan, Yujiro-sama? " tanya Aiden de Toushimori, Minister dari Dewan Perwakilan Vampire.

"Kerajaan menjadi tenang setelah mereka pergi, " kata Jiro. Jawaban yang sangat melenceng dari pertanyaan Aiden.

"Ya, tapi sebagai gantinya kita kehilangan klan terpenting, " gumam Aiden , menanggapi apa kata Jiro.

"Kau tidak menganggapku? " goda Jiro dengan nada sambil lalu.

"Itu berbeda, Jiro. Jadi apa tujuanmu memanggilku ke sini?" Aiden berusaha mengembalikan ke topik utama.

"Hmmm." Jiro hanya bergumam tak jelas. Ia menatap langit di luar mansion yang terlihat mendung. Ia menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya sebelum mengatakan tujuan utamanya datang menemui Aiden.

"Takdir sudah kembali berputar. Biarkan tamuku melakukannya."




Oyharo city, Kingdom of Vampire, 10 a.m.


"Fukuzawa, aku ragu mengenai ini. Nanti kau yang menjawab semua pertanyaan Aiden-sama ya," bisik Miura sensei saat ia dan kedua muridnya dalam perjalanan menuju pusat kota Oyharo city.

"Iya, sensei," gumam Runa singkat. Ia menyandarkan kepalanya di jendela mobil yang mengantar mereka ke tempat pertemuan. Ia sangat lelah karena kejadian tadi malam saat ia bertugas di perbatasan Sorrowforest dengan Seihan.

Rave yang duduk di sebelah Runa meliriknya sekilas. "Kau yakin, Ruu ? Wajahmu agak pucat." Runa mengibaskan tangannya. "Tidak apa-apa. Aku hanya kurang tidur."

Rave tak lagi menanyai Runa. Ia memberikan Runa waktu untuk istirahat. Ia sibuk mengamati keadaan di luar mobil. Ada banyak vampire di pinggir jalan yang menatap mobil yang ia tumpangi dengan tatapan aneh. Tatapan penuh rasa haus. Sepertinya para vampir itu belum meminum tablet darahnya hingga mereka tampak kesakitan menahan rasa haus.

"Kita sudah sampai," kata Miura saat mobil berhenti tepat di depan deretan tangga menuju Main Aula.

"Hmmm." Gumaman tak jelas keluar dari mulut Rave dan Runa. Keduanya keluar dari mobil dan mengikuti Miura.

"Sensei, apa kita akan menaiki tangga ini?" tanya Runa histeris begitu melihat deretan tangga menjulang di depannya. Ia tidak bisa membayangkan jika ia harus menaiki tangga sebanyak itu dengan stiletonya.

"Entahlah, aku tidak tahu," jawab Miura. Ia juga sama kagetnya dengan Runa. Ia juga tidak ingin menaiki tangga sebanyak itu.

"Tidak. Kita lewat sini," kata Rave sambil menunjuk jalan kecil di samping deretan tangga. Di dekat jalan itu ada papan yang bertuliskan Main Aula dengan tanda panah menunjuk ke arah jalan kecil itu.

"Syukurlah," kata Runa dan Miura bersamaan. Ketiga manusia itu menyusuri jalan kecil yang akan membawa mereka menemui Raja Jiro.


Main Aula, Kingdom of Vampire


"Mereka sudah datang? " tanya Jiro pada penasehat kerajaannya, Adolph Jurotsuchi.

"Ya, Jiro-sama. Mereka dalam perjalanan kemari," jawab Adolph dengan penuh hormat. Kacamata berbingkai emasnya menyamarkan iris matanya yang berwarna coklat kemerahan. Rambut hitam panjangnya tergerai sampai ke pinggang. Namun tak bisa mengurangi ketampanannya.

"Hmm, lebih baik aku pergi. Aku tidak mau kalian menanyaiku tentang 'dia'. Aku tidak mau mendahului takdir. Pasti akan menarik kalau takdir kali ini sedikit menantang," cetus Felicita Merekibe tiba-tiba. Wajah tirusnya menunjukkan keanggunan yang lembut. Rambut ungu gelapnya tergerai sampai ke bahunya. Mata beriris coklat terangnya menyiratkan ketenangan dan kemisteriusan.

"Apa maksudmu, Merekibe-san? " tanya Adolph cepat sebelum Jiro sempat bertanya.Felicita tidak menjawab. Ia tersenyum misterius. Tanpa rasa bersalah karena tidak menjawab pertanyaan Adolph, ia segera melenggang ke arah pintu keluar. Ia berhenti sejenak di pertengahan jalan. Tanpa menoleh, ia bergumam,

"Dia datang tapi tidak sebagai dia. Belum waktunya dia kembali. " Jiro dan Adolph saling memandang. Keduanya sama-sama bingung dengan sikap aneh Felicita . Di pikiran mereka terlintas pertanyaan yang sama. 'Siapa dia itu?'

"Yang Mulia, tamu anda sudah datang, " kata seorang pengawal kerajaan dengan menghormat penuh ke hadapan Raja. Karena Raja hanya terdiam, pengawal itu mengulanginya kembali. "Yang Mulia, tamu anda sudah datang!"

"Ah, iya. Persilakan mereka masuk," kata Jiro setelah tersadar kembali dari lamunannya.

"Baik, Yang Mulia." Tak lama kemudian, pintu utama terbuka lebar. 3 sosok manusia memasuki ruangan. Semua vampir di dalam ruangan harus menahan nafas karena bau darah yang menggoda mereka. Ketiga manusia itu berjalan mendekati hadapan Jiro. Dua dari ketiga manusia itu mengenakan seragam hunter. Mereka adalah utusan dari Hunter Spy. Miura, Rave dan Runa.

"Salam sejahtera untuk Jiro-sama," kata Miura dengan tingkat kesopanan tinggi. Ia dan kedua muridnya membungkuk dengan hormat di hadapan Raja Jiro.

"Ya, berdirilah, " kata Jiro penuh wibawa. Matanya menatap tajam ke arah gadis bermata violet di hadapannya. 'Dia...Apa dia Runa?' batinnya.

"Jiro-sama, gadis itu memiliki mata violet seperti...," bisik Adolph.

"Ya, aku tahu," balas Jiro cepat. Ia buru-buru bersikap biasa.

"Maaf telah menganggu anda, Yang Mulia," kata Miura.

"Tidak apa-apa. Aku tidak merasa terganggu. Ah, aku sudah membaca surat dari Hunter Spy." Jeda sesaat. Semua yang ada di dalam ruangan seakan menunggu penuturan Jiro selanjutnya. Terutama Miura, Rave dan Runa. Mereka sudah menyiapkan diri untuk sebuah penolakan. Atau mungkin untuk sebuah pengusiran.

"Aku minta maaf. Sebagai Raja, aku tidak tahu ada kejadian itu. Aku tidak menyangka pembunuhnya ada di Vampire 'ZERO' Academy. Aku akan membantu semampuku."

"Terima kasih, Yang Mulia," sahut Miura cepat.

"Tapi..." Semua kembali terdiam menunggu kelanjutan kalimat Jiro yang bisa saja berlawanan dengan kalimat sebelumnya.

"Kalian tahu bahwa kami belum terbiasa dengan darah manusia. Aku tidak bisa menempatkan kalian dalam bahaya selama kalian ada di akademi vampir. Tapi aku tetap mendukung misi kalian asalkan kalian yang menjalankan misi berubah menjadi vampir."

"Apa?" Miura tak bisa menunjukkan keterkejutannya.

"Tapi Yang Mulia, untuk menjadi vampir tidak bisa begitu saja dilakukan tanpa rencana. Butuh waktu lama untuk menyiapkan hal itu. Tidak bisakah Yang Mulia memberi syarat lain? Atau Yang Mulia berkenan memberi kami saran," kata Runa. Ia mengambil alih tugas Miura yang masih shock.

Jiro tersenyum simpul. Matanya menatap Runa dengan lembut. Ia mulai mengerti apa maksud Adolph dan Felicita. Tanpa diubah pun takdir sudah datang dengan sendirinya. Tanpa ingatan pun, hati mereka sudah dipertemukan oleh takdir.

"Aku tahu itu. Memang mustahil mengubah kalian menjadi vampir. Mengingat kedatangan kalian hari ini sudah pasti membuat pelakunya curiga. Tapi ada satu cara untuk menjadi vampir dalam waktu kurang dari 5 detik. Yaitu dengan obat mutasi buatan sendiri yang mengubah mampu manusia menjadi vampir selama kurang lebih 8 jam."

"Obat mutasi?"

#



Hunter 'ELF' Gakuen's Laboratory, 7 p.m.


"Jadi kerajaan vampir ingin hunter yang bertugas menjadi vampir dengan obat mutasi?" tanya Riiku Fukuzawa sambil menatap ketiga murid di depannya.

"Hehemm." Runa, Sean dan Rave mengangguk bersamaan. Mereka adalah 3 hunter yang dicalonkan untuk melaksanakan misi penyelidikan sekaligus pengejaran buronan pembunuh 15 manusia dalam 15 hari terakhir. Siapa yang akan menyusup ke akademi vampir akan ditentukan malam ini.

"Oh." Riiku kembali sibuk mengaduk-aduk tabung reaksi yang berisi cairan berwarna pink keunguan.

"Sensei!" seru ketiga muridnya dengan keras secara bersamaan. Mereka kesal karena tidak dihiraukan oleh Riiku.

"Hah? Apa?" tanya Riiku dengan wajah polosnya.

"Ajari kami membuat obat mutasi," kata Sean cepat. Diikuti anggukan dari Runa dan Rave.

"Aku tidak bisa kalau tidak ada resepnya." Runa langsung membungkam penolakan Riiku dengan selembar kertas berisi bahan dan cara membuatnya. Ia juga menyodorkan botol berisi darah vampir ke hadapan Riiku.

"Apa ini, Naa-chan?" tanya Riiku sambil mengangkat botol kecil itu lalu menggoyang-goyangnya.

"Darah vampire , Half-Blood," jawab Runa . singkat.

"Benarkah? Bahan ini sangat sulit dicari. Aku sudah mencarinya ke ujung penjuru Tosakyo city tapi tidak bisa menemukannya. Darimana kau mendapatkan ini?" celoteh Riiku begitu mengetahui apa isi botol itu.

Runa tersenyum sinis . Sangat mudah merayu ayahnya jika ayahnya sudah menunjukkan ketertarikannya pada sesuatu.

"Dari kerajaan vampir. Mereka memberikannya agar kami segera memulai membuat obat mutasi. Mereka memberikannya secara cuma-cuma. Dan kami hanya membutuhkan beberapa tetes, jadi sisanya untuk sensei."

"Benarkah? Ah, ehem. Baiklah. Sebaiknya kalian siapkan bahannya," kata Riiku sambil membaca sekilas cara membuat obat mutasi yang ada di kertas. Sekaligus menutupi ekspresi kesenangan yang berlebihan di wajahnya.

"Sudah!" seru Sean, Rave dan Runa bersamaan sambil menunjukkan sekeranjang penuh bahan-bahan aneh.

"Baiklah. Ayo kita mulai, " kata Riiku. Ia tetap menyibukkan diri dengan kertas di tangannya. Walaupun ia heran darimana mereka mendapatkan bahan secepat itu.

"Siapkan tabung elemeyer ukuran satu liter dan masukkan air lemon ke dalamnya. Masak sampai mendidih, " kata Riiku. Runa, Sean dan Rave melakukan semua perintah Riiku dengan hati-hati.

"Siapkan cawan petri ukuran diameter 15 cm. Haluskan kayu manis, bunga lily, mahkota mawar merah dan putih, bunga lavender, ganggang merah, hati kelelawar kering, dan biji apel."

Sean memasukkan semua bahan yang disebutkan ke dalam cawan dan langsung menumbuknya. Ia tak peduli pada kemungkinan ada bahan yang tidak perlu ikut masuk. Sementara Rave lebih hati-hati dengan meneliti bahannya satu persatu. Sama halnya dengan Runa . Ia bahkan membuang daun yang kering dan membersihkan bahan yang kotor.

"Masukkan bahan yang dihaluskan ke dalam cairan lemon yang sudah mendidih. Tambahkan darah vampir Half-Blood cukup satu tetes dan potongan jantung vampir kering secukupnya. Masak sampai memadat." Walaupun Riiku pada awalnya ingin mengajari namun pada akhirnya ia hanya mengawasi. Ia yakin murid-muridnya sudah pandai.

Mereka bergantian memasukkan darah vampir Half-Blood dan jantung vampir kering karena hanya ada satu. Runa menuang darah vampir lebih dari satu tetes karena tidak sengaja tersenggol lengan Sean. Ia tidak terlalu memperhatikannya. Ia mengambil jantung vampir kering dari tangan Sean yang mengulurkan itu sejak tadi. Ia memotong sedikit dari jantung itu. Crash! Tanpa sengaja, ia mengiris jari telunjuknya. Ia segera menghisapnya sebelum menetes ke ramuan. Tes! Ia tak menyadari ada setetes darahnya yang masuk ke dalam ramuan itu. Ramuan itu berubah warna menjadi merah darah beberapa detik sebelum kembali berwarna coklat.

"Aduk terus sampai padat dan berwarna pink kemerahan seperti di gambar ini," kata Riiku sambil menunjukkan gambar warna cairan ramuan di kertas resep.

"Sensei, kata Jiro-sama bentuknya pil. Kenapa ini masih cair begini? " tanya Runa penasaran. Menurutnya tidak mungkin ia berhasil karena ramuannya masih sangat cair.

"Aku tidak tahu. Di sini hanya tertulis begitu. Nantinya kalau sudah memadat, kita akan mencetaknya dan menguji cobanya. Baiklah, aku akan melihat-lihat hasil kerja kalian."

Rikiu mulai mengamati hasil kerja muridnya dari tabung milik Sean. Bukannya berwarna merah muda, tapi ramuan di tabungnya semakin menghitam. Ia menggeleng pelan. Sean gagal total. Ia mengintip tabung Rave. Ramuannya berwarna merah dan mulai memadat. Tapi bukan merah itu yang diminta melainkan pink atau merah muda. Ia mengalihkan matanya ke tabung Runa. Matanya bersinar senang melihat ramuan Runa yang mulai memadat dengan warna pink kemerahan yang sama dengan contoh.

"Ah, Naa-chan! Kau berhasil! Kau memang putriku yang paling hebat!" seru Riku kelewat senang.

"Hah?" Runa mengerjapkan matanya dengan bingung. "Benarkah?"

"Ya. Sama persis dengan yang ada di resep," jawab Riiku sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Runa menatap kertas resep dengan tabung ramuannya secara bergantian. Memang sama persis. Namun ia tak menyangkanya. Bagaimana mungkin ia berhasil? Apa artinya ia akan melakukan misi hebat ini? Seulas senyum kebahagiaan terlukis di bibirnya.

"Tidak salah lagi. Kau memang putriku," kata Riiku sambil memeluk putrinya erat-erat.

"Memang Runa itu putri sensei kan. Memangnya putri siapa lagi?" kata Sean. Rave hanya tersenyum pada Runa . Ia ikut senang karena Runa berhasil walaupun ia sedikit cemas akan keselamatan Runa selama misi.


$$$$$$$$$$$$$


"Runa!" Runa berhenti berjalan saat ada yang memanggil namanya. Ia membalikkan badannya untuk melihat siapa yang memanggilnya.

"Senpai, ada apa?" tanya Runa santai .

"Hah? Tidak. Aku hanya ingin mengucapkan selamat." Rave mengulurkan tangannya. "Selamat atas misi pertamamu sebagai anggota Hunter Spy."

Runa menyambut jabat tangan Rave dengan mantab. Ia sedikit menundukkan wajahnya menandakan sopan santun pada kakak senior . "Terima kasih, senpai."

"Apa kau yakin akan pergi besok?" tanya Rave. Runa mengangguk. Ia mulai berjalan lagi. Menyusuri halaman depan Horikoshi Hunter "Ya. Lebih cepat lebih baik."

"Lalu kenapa kau masih ada di sini? Bukannya kau harus bersiap-siap." Rave mengikuti langkah Runa . Ia berjalan tepat di samping Runa.

"Ah...aku ada janji makan malam dengan Seihan. Kami sudah berjanji bertemu di pintu gerbang asrama," jawab Runa. Tangannya bergerak-gerak kedepan dan kebelakang . sesekali Ia meletakkan kedua tangannya di belakang tubuh. Jari-jarinya saling bertautan.

"Oh. Apa itu semacam pesta perpisahan?"

"Begitulah." Suasana menjadi hening. Keduanya bingung harus mengatakan apa. Keduanya tetap berjalan beriringan menuju pintu gerbang asrama.

"Hoy, midget!" seru Sean keras sambil merangkul bahu Runa dengan santai.

"Senpai! Sudah ku katakan berkali-kali 'jangan memanggilku midget!'. Apa kau tuli, huh?" seru Runa keras. Ia selalu meledak-ledak di hadapan Sean yang selalu memanggilnya midget.

"Ah, ancamanmu itu tidak ampuh, Runa-chan," kilah Sean.

"Hei! Aku akan mematahkan tanganmu," ancam Runa lagi.

"Sudahlah. Kalian ini selalu bertengkar. Apa kalian tidak lelah?" Rave yang melihat pertengkaran itu hanya menengahi seperti biasa.

"Rave!" Grep! Seorang gadis berambut blonde langsung memeluk lengan Rave dengan erat. Mata beriris hijaunya menatap Rave dengan penuh cinta. Dialah Mariya Matjishi, pengejar cinta Rave.

"Cih. Troublemaker sudah datang," gumam Sean cukup keras. Ia memandang kesal ke arah Mariya. Ia tahu betul betapa mengganggunya sosok Mariya dalam hidup Rave. Seperti benalu di pohon mangga. Sangat merugikan.

Mariya melihat ke arah Sean dan Runa. Tatapan penuh cintanya berubah menjadi tatapan jijik dan penuh ketidaksukaan. "Oh, kau ya. Sean, si gila warna pink. Warna norak."

"Apa kau bilang? Dasar troublemaker berjalan!" balas Sean. Runa terkekeh geli. "Aku rasa tidak ada salahnya menyukai warna pink."

Mariya menatap Runa dari atas sampai bawah. Ia tersenyum mengejek. Penampilan Mariya sangat standar di matanya. "Kau itu anaknya Fukuzawa sensei kan? Kau itu hanya berlindung di balik ketenaran ayahmu, padahal kau tidak ada apa-apanya. Sama saja sih. Ayahmu juga sebenarnya tidak bisa apa-apa. Dia itu hanya guru ramuan yang to-"

"Jaga mulutmu, Matjishi-san. Atau peluru ini akan menembus kepalamu," kata Runa dengan nada rendah dan dingin yang sangat menakutkan.

Wajah Mariya langsung memucat. Tubuhnya bergetar ketakutan. Ia tak menyangka Runa akan menodongkan pistol padanya. Dari ekor matanya, ia melihat sekilas nama pistol Runa . Darkyuri. Yang ia tahu pistol itu untuk membunuh vampir dan zombie. Jadi tak ada efek untuk manusia. Ia sedikit tenang.

Rave dan Sean pun kaget karena dalam waktu cepat pistol sudah tertodong di kepala Mariya . Mereka bahkan tak melihat gerakan Runa mengambil pistol. Dan yang pasti pistol Runa bukan sembarang pistol.

"Apa kau tidak belajar, Fukuzawa. Pistolmu tidak berefek padaku," kata Mariya dengan percaya diri. Runa tersenyum sinis. Tatapan matanya menajam. "Benarkah? Apa kau mau coba? Aku belum mencobanya pada manusia."

"Runa, sudahlah. Jangan terbawa emosi," kata Sean untuk menenangkan Runa. Ia tahu betapa menakutkannya Runa kalau sedang marah, terutama jika ada yang menghina ayahnya.

"Coba saja kalau berani," tantang Mariya.

"Baiklah. Hitung mundur dari 10."

"Runa, jangan," cegah Rave sambil memegang tangan Runa. Tapi percuma karena posisi tangan Runa tak berubah satu derajatpun.

"10, 9, 8, 7..." Runa mulai menghitung mundur. Sementara Rave dan Sean merasa khawatir. Darkyuri, pistol milik Runa bukanlah pistol hunter pada umumnya yang hanya mempunyai dua lubang peluru, satu untuk vampir dan satu untuk zombie yang otomatis berputar sesuai alat deteksi sasaran. Tapi pistol Runa ada tiga, satu lagi untuk manusia.

"3, 2, Dor!" Sean, Rave dan Mariya terpaku di tempat saat mendengar suara tembakan dari pistol Runa . Mariya yang takut nyawanya hilang. Sean dan Rave yang tidak percaya kalau Runa telah melakukannya. Semua hening.


##############

Tidak ada komentar:

Posting Komentar