Minggu, 11 Maret 2012

The Last Pure-Blood Vampire | The Murderer part 2

"Aku pulang!" seru Runa keras-keras dari pintu depan sebuah rumah minimalis di pinggiran kota Tosakyo tepatnya di Guinave Village. Tangan mungilnya memencet bel berkali-kali sampai terdengar bunyi 'ting tong' berurutan.

"Hei! Jangan berteriak seperti itu, Naa-chan!" balas seorang pria berumur akhir 30 tahunan yang memakai celemek berwarna biru laut. Di tangannya ada sodet masak yang masih bersih. Ia berjalan santai menuju pintu depan. Mata beriris abu-abunya tersembunyi indah di balik kacamata non frame yang ia pakai. Rambut hitamnya yang terpotong pendek nampak acak-acakan. Ia berusaha mengabaikan bunyi bel yang mulai membuat telinganya sakit. Ia, Riiku Fukuzawa tak akan memaafkan ulah Runa kali ini dengan mudah.

Ceklek! Pletak!

"Ah! Aduh! Ayah! Sakit !" omel Runa kesal. Ia tak menyangka ayahnya akan memukul kepalanya dengan sodet sayur.

"Itu hukumanmu karena memencet bel seenakmu sendiri," balas Riiku. Ia juga nampak kesal.

"Ah, ayah. Aku kan baru pulang dari Horikoshi Hunter Society. Apa kau tidak merindukanku?" kata Runa dengan nada merajuk.

"Aish! Bagaimana mungkin ayah merindukanmu kalau setiap hari kita bertemu di Horikoshi Hunter Gakuen dan setiap akhir minggu kau juga pulang," jelas Riku panjang lebar. Sekedar memberitahu putrinya kalau ia tidak merindukan putrinya sedikitpun.
Wajah Runa berubah cemberut. Bibirnya maju beberapa milimeter. " Ayah jahat! "

" Hei! " Riku memekik kaget saat putrinya melewatinya sambil menabrakkan diri ke tubuhnya. Ia menggeleng pelan sebelum menutup pintu rumah. Ia heran kenapa dia bisa mempunyai anak seunik Runa. Meledak-ledak seperti petasan.

" Ayah! Kare-mu gosong! " seru Runa dari arah tangga di dekat dapur.

" Hah? " Riiku terhenyak kaget. Ia buru-buru berlari ke dapur dan meninggalkan kegiatan melamunnya beberapa saat lalu. Matanya membelalak kaget menatap kepulan asap dari panci karenya.

" For God Sake. Kare-ku! " serunya frustasi. Ia menatap pancinya dengan sedih. Kare spesialnya gosong padahal baru ia tinggal sebentar. Ini pasti gara-gara apinya terlalu besar. Argh! Ia menjambak rambutnya sendiri. Harus makan apa dia malam ini ? Padahal Runa ada tes Hunter Spy tengah malam nanti. Bagaimana kalau putrinya kelaparan nanti ? Lalu gagal dalam tes. Tidak! Ia merasa jadi ayah yang jahat.

" Sudahlah, ayah . Aku sudah belikan bahan makanan. Masak saja lagi! " seru Runa dari lantai atas. Ia sudah hafal kebiasaan ayahnya yang hanya membeli bahan makanan untuk sekali masak. Dan ayahnya itu hanya masak setiap akhir pekan saat ia pulang.

" Hah? Baiklah. Aku akan masak kare lagi, " kata Riku dengan semangat baru yang entah ia dapat darimana. Ia berjalan mendekati meja dapur dimana ada sekantong bahan makanan di sana. Ia terdiam saat melihat bahan makanan yang ada di dalam kantong. Hanya ada daging, paprika, bawang bombay, cabai, kecap, saus dan wasabi. Ia hanya mampu menatapnya dengan bingung. Tidak ada bahan makanan untuk kare.

" Aku mau barbeque bukan kare, " kata Runa tiba-tiba.

Riku menatapnya kecewa. " Tapi ayah mau kare, Naa-chan. "

" Tidak bisa, aku mau barbeque! " tandas Runa kesal. Ia bosan makan kare setiap pulang ke rumah. 

“ Kalau ayah tidak mau, ya sudah. Aku bisa masak sendiri."

" Eh? Ayah mau kok. Naa-chan duduk saja , biar ayah yang masak, " kata Riku dengan senyum yang kelewat lebar.

" Baiklah. " Runa duduk di kursi di ruang makan dengan tenang. Ia mengamati ayahnya yang sedang memasak. Terkadang ia sempat berpikir 'bagaimana mungkin orang sekonyol ayahnya bisa menjadi guru obat yang cukup disegani di Horikoshi Hunter Gakuen. Sulit dipercaya tapi memang itu kenyataannya.

" Eh, ayah. Ada yang ingin ku bicarakan denganmu," kata Runa saat tiba-tiba ia teringat pada pembicaraannya tadi siang dengan Udagaki sensei.

" Ya? Bicara apa? Katakan saja! Aku masih bisa mendengarmu dengan jelas, " balas Riku.
Runa menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. " Ini tentang misi pengejaran buronan di Vampire 'ZERO' Academy. Aku mau ikut misi Hunter Spy di sana kalau aku lulus tes. "

Klontang!

Riiku menjatuhkan pisau yang tadi ia gunakan untuk memotong daging. Pisau itu jatuh membentur lantai dengan cukup keras. Beruntungnya pisau itu tidak mengenai kakinya yang hanya memakai sandal rumah berbentuk kepala sapi di ujungnya. Riku membalikkan tubuhnya perlahan ke arah dimana Runa berada . Matanya menatap Runa dengan horor.

"A-apa kau bilang tadi, Naa-chan?" tanyanya dengan suara tercekat. Ia masih memberikan tatapan horor pada Runa . Ia kaget dan tak menyangka kalau Runa akan mengatakan itu. Darimana putrinya tahu kalau ada misi pengejaran buronan ke Akademi Vampir? Ah, ia ingat. Ia yakin kalau Miura yang sudah mengatakannya pada Runa.
Runa menatap ayahnya dengan bingung. Reaksi yang diberikan ayahnya cukup membuatnya kaget. Walaupun ia sudah menduga hal itu sebelumnya. Ia berdecak kesal sebelum angkat bicara.

" Ckk. Ayah tidak dengar ? Aku bilang kalau aku akan ikut misi pengejaran buronan ke Vampire 'ZERO' Academy kalau aku lulus tes Hunter Spy tengah malam nanti."

" Ah, Naa-chan. Jangan lakukan itu. Kau tahu di sana sangat berbahaya. Lagipula kejahatan ini bukan kejahatan besar, " kata Riku dengan wajah memelas.

Runa kembali berdecak kesal. "Ayah! Bukan kejahatan besar bagaimana! Sudah ada 13 korban dan itu akan terus berlanjut."

" Tapi- "

" Aku tidak terima kata 'tapi' dari ayah. Lagipula aku ikut misi ini kalau aku lulus tes Hunter Spy tengah malam nanti. Kalau aku gagal, aku tidak akan ikut," potong Runa cepat sebelum ayahnya sempat meneruskan kata 'tapi'-nya.

"Naa-chan, aku melarang karena aku tahu kalau kau akan berhasil dalam tes Hunter Spy. Kau bisa melakukan misi apapun, asal jangan misi penyusupan seperti ini. Ayah tidak setuju. Bagaimana kalau vampire di akademi vampire mencium bau darahmu saat haus. Kau bisa diserang oleh mereka. Kita tahu pasti tentang larangan memasuki Vampir 'ZERO' Academy yang dikeluarkan kerajaan Vampire . Itu untuk keselamatan kita, " jelas Riku panjang lebar.
Runa mendengus kesal.

" Kasus kejahatan ini juga menyangkut kepentingan mereka. Aku yakin kalau mereka akan mengizinkan penyusupan ini."

" Apa maksudmu? Kepentingan mereka? " ulang Riku tak mengerti.

" Ayah ingat tentang peleburan untuk membuka segel Triangle Darkness? " tanya Runa. Ia tersenyum licik saat ayahnya nampak bersemangat.

" Tentu saja. Itu jalan pintas yang cukup menantang. Ah, tapi apa hubungannya dengan ini? " Riku memandang putrinya dengan curiga.

" Kejahatan ini adalah proses peleburan itu. "

" Kenapa kau bisa beranggapan seperti itu? " tanya Riku ragu.

" Ada beberapa poin penting yang sama. Pertama, semua korbannya bergolongan darah O. Kedua, ada tattoo helai sayap phoenix di bawah tulang selangka korban. Ketiga, dalam dua minggu ini semua korban ada 13 dan dari Orbitary village. Bukankah itu syarat utama peleburan, yaitu berurutan tiap malam dengan 1 korban dan 14 korban dalam 1 tempat. Jadi kemungkinan ini ilegal. Kalau legal tentunya pihak kerajaan akan memberitahu kita kan? " jelas Runa .

Riku menatap Runa dalam-dalam. Ia tak menyangka putrinya mampu menganalisa seakurat ini. " Hebat. Kau memang putriku yang paling hebat. "

Runa kaget saat ayahnya sudah ada di depannya dan memeluknya erat-erat. Ia hanya tersenyum kecil sambil menepuk-nepuk punggung ayahnya. Tiba-tiba keningnya mengernyit bingung saat hidungnya mencium aroma sesuatu. Bau gosong. Matanya membulat begitu melihat daging yang dipanggang telah berasap.

" Ayah, dagingmu gosong, " bisiknya pelan. Senyum geli terukir di bibirnya.

" Apa! "

Riku langsung histeris melihat dagingnya telah hangus dan tidak bisa dimakan pastinya. " Mau makan apa kita malam ini? “



" Naa-chan, kau tidak apa-apa hanya makan malam dengan mie instan? Apa perlu ayah buatkan bekal roti? " tanya Riku sebelum mengantar Runa ke Orbitary village. Karena dagingnya hangus, ia dan Runa hanya makan mie instan. Ia khawatir kalau Runa akan kelaparan saat tes nanti.

" Tidak perlu, ayah. Aku sudah kenyang dengan mie instan tadi, " tolak Runa . Ia sudah mengenakan seragam Horikoshi Hunter Gakuen lagi setelah ia sempat berganti pakaian saat di rumah. Ia merapikan kemeja berlengan panjang berwarna putih yang membalut tubuhnya. Dasi berwarna biru muda sudah terikat rapi. Rok lipit selutut yang sewarna dengan dasinya juga sudah rapi. Di tangannya sudah ada mantel panjang berwarna putih dan pistol rakitan yang ia buat sendiri sebulan yang lalu. Ia menamainya dengan Darkyuri.

" Baiklah. Kita berangkat sekarang, " kata Riku. Ia menyalakan mobil Volvo putihnya dan melajukannya dengan cepat menuju ke Orbitary village.

Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di pinggiran Orbitary village, tepat di tepi Sorrowforest. Di sana sudah terlihat ramai. Tidak hanya Runa yang mendapat jadwal tes tengah malam ini.

" Aku tes dulu . Sebaiknya ayah pulang, " kata Runa sebelum keluar dari mobil.

" Ya . Hati-hati, " balas Riku. Ia memperhatikan pergerakan Runa sampai gadis itu berhenti di depan seorang pria .

" Ckk, Miura. Awas kalau sampai putriku terluka, " gumam Riku pelan. Ia segera memutar arah mobilnya menuju rumahnya. Yui berjalan cepat menuju tempat dimana Miura Udagaki berada. Ia menyelipkan pistolnya ke dalam saku mantelnya. Lalu mengenakan mantelnya dengan cepat.

" Sensei ! " seru Runa pada pria yang ia kenali sebagai Miura .

Miura menoleh ke arah kedatangan Runa . Ia berdecak singkat.  "Ckk. Kau telat 13 detik, Fukuzawa. Segera masuk hutan dan kembali ke tempat ini dengan membawa bendera yang ada di tengah hutan. Hanya ada 3 bendera malam ini." Runa mengangguk mengerti . Ia sudah akan berjalan ke dalam hutan tapi ia menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Miura .

" Sensei, sebaiknya hunter yang ada di sini berjaga karena malam ini pasti ada serangan di Orbitary village, walaupun sudah lewat tengah malam."

" Hah? Apa mak-Hei ! Ck ! Bocah itu, " keluh Miura pelan karena Runa sudah menghilang di balik pekatnya hutan. Runa terus berlari menerobos hutan. Tujuannya hanya satu yaitu tengah hutan. Ia mengingat rute jalan pintas yang pernah ia baca. Saat sampai di persimpangan, ia memilih jalan ke kanan. Walaupun terjal tapi itu adalah jalan pintas. Dengan lincah, tubuh mungil itu melewati jalanan berbatu yang berbatasan langsung dengan jurang. Ia melompat di bebatuan terakhir dan langsung sampai di tengah hutan. Ia melihat ada banyak bendera yang sejenis. Tapi ia hanya melihat ada 3 yang memiliki tanda Horikoshi Hunter Gakuen kecil di ujung bendera. Dengan cepat ia meraih salah satunya dan kembali menyusuri jalan yang berbeda dengan jalan saat datang.

"13 menit 3 detik. Runacathra Fukuzawa, " seru hunter yang bertugas menghitung waktu di garis finish.

" Midget, kau membuat rekor baru! " seru seorang laki-laki berambut coklat terang. Tangan kekarnya menepuk-nepuk kepala Runa dengan semangat . Mata beriris birunya nampak bersinar di keremangan malam.

" Sean senpai ! Jangan memanggilku midget ! Aku tidak kerdil ! " seru Runa pada seniornya , Sean Kotatsuki yang dua tahun di atasnya .

" Bagiku kau tetap midget ! Iya kan, Rave ? " Sean menoleh sekilas pada laki-laki di belakangnya yang ia panggil Rave. Rave Kunihonshou hanya tersenyum kecil. Rambut hitamnya tersembunyi rapi di balik tudung mantelnya. Mata beriris coklat terangnya menatap Runa dengan lembut. " Selamat, ya. Kau memang hebat. " Runa mengangguk cepat dan segera memukul bahu Sean sebagai balasan atas jitakan di kepalanya tadi.

" Hei ! Runa , aku dengar kau mau ikut misi pengejaran buronan ke Vampir 'ZERO' Academy. Benar tidak ? " tanya Sean saat Runa sudah berhenti memukul bahunya.

" Itu ? ya, sepertinya . Tapi kalau bisa aku ingin menangkapnya malam ini, " jawab Runa sambil melepas mantelnya . Dengan tak peduli, ia duduk meluruskan kaki di atas dedaunan kering. Tangan mungilnya dengan lincah melepas sepatu ketsnya. Dan menggantinya dengan stileto berhigh heels 7 cm.

" Malam ini ? Memangnya kau yakin dia akan datang malam ini ? " tanya Sean lagi.

" Ya. " Runa kembali berdiri dan memandang ke langit.  "Pasti datang. Dia tidak bisa melewatkan sehari pun. Ah, bagaimana menurut senpai tentang tujuan kejahatan ini ? Aku yakin Udagaki sensei sudah menceritakan itu pada kalian." Sean mengangkat bahu.

"Entahlah. Analisamu masuk akal. Berhubung aku tidak tahu menahu soal buku itu dan isinya, aku setuju saja denganmu. Kau kan memang buku berjalan." Runa menoleh dan menatap Sean dengan tajam. "Apa maksudmu dengan buku berjalan?"

" Nothing. " Sean mengacungkan tanda peace dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

" Aku setuju denganmu, Runa . Memang ada indikasi ke arah itu. Tapi belum bisa dipastikan mengenai hal itu, " kata Rave. Ia menatap Runa tetap dengan tatapan lembut.

"Ngomong-ngomong darimana kau tahu tentang buku itu?" Runa terkekeh pelan. Dengan gaya cool ia merapikan rambutnya yang sebenernya tidak terlalu kusut karena terpaan angin malam itu .

" Dari ayah . Senpai kan tahu kalau ayahku memang menyukai buku-buku seperti itu. "

" Ah, aku jarang bertemu Fukuzawa sensei. Apa dia sedang melakukan sebuah proyek ? " tanya Sean tiba-tiba. Ia terlihat antusias menanyakan Fukuzawa sensei. Sudah menjadi rahasia umum kalau ia sangat mengidolakan Fukuzawa sensei dan selalu menjadi orang pertama yang memuji obat penemuan Fukuzawa sensei.

" Entahlah. Sepertinya memang begitu. Ayah bilang dia sedang sibuk meneliti komposisi darah vampir dan bagaimana cara vampir mengidentifikasi bau darah manusia," jawab Runa sambil menunjukkan pose berpikirnya. Kepalan tangan menyangga dagu.

" Dimana Udagaki sensei? " tanya seorang anggota Hunter Spy pada Rave yang berdiri tak jauh darinya.

" Ah, ada di posko penilaian. Memangnya ada apa ? " kata Rave pada orang itu.

" Eh? " Orang itu nampak ragu untuk menjawab.

" Sedang apa kau di sini ? Bukannya aku menyuruhmu berjaga di balai desa Orbitary," cetus Miura yang sudah ada di belakang Runa entah sejak kapan.

" Sensei, ada pe-pembunuhan di balai desa. Pelakunya vampir. "

" Apa? " seru Miura dan Sean secara bersamaan. Sementara Runa dan Rave tetap tenang . Sepertinya keduanya sudah menduga hal itu akan terjadi.

" Sebaiknya kita segera ke sana, " kata Rave dengan nada datar. Runa sudah berlari terlebih dahulu sebelum yang lainnya bergerak. Ia penasaran dengan kondisi korban. Ia ingin melihat korban dengan mata kepalanya sendiri. Langkah kakinya berhenti tepat di dekat kerumunan orang. Ia menerobos masuk ke dalam kerumunan dan langsung mendekati korban, tepatnya
mayat korban berada. Ia duduk berjongkok di dekat mayat seorang wanita seusianya. Wajah mayat itu pucat pasi dengan mata tertutup. Bajunya sedikit terkoyak. Tangan Runa sudah terulur untuk menyingkap baju korban di bagian leher. Namun ada tangan kekar yang menampik tangannya dengan keras.

" Apa yang kau lakukan? Kau bukan anggota Hunter Spy ! " seru hunter yang menampik tangan Runa.

"Ckk." Runa berdecak kesal sambil mengusap tangannya yang memerah karena tampikan tangan hunter itu. Ia berdiri tegak dan menatap hunter itu dengan kesal. " Aku sudah menjadi anggota Hunter Spy sejak beberapa menit yang lalu. "

" Omong kosong. Pergilah, bocah ! " Hunter itu mendorong Runa sampai nyaris menubruk tanah kalau tidak ditahan Rave yang ada di belakang Runa beberapa detik yang lalu.

" Kau tidak apa-apa? " tanya Rave tepat di belakang Runa .

"Hmmm . Aku tidak apa-apa. " jawab Runa masih dalam keadaan marah yang tertahan .

" Biarkan dia memeriksanya. Dia berada di bawah perintahku, " tandas Miura. Ia mengalihkan tatapannya pada Runa .  "Lakukan apapun yang mau kau lakukan ! "

" Baiklah . " Runa menjawab singkat dan segera duduk berjongkok di dekat mayat. Tangannya menyingkap baju yang menutupi leher bagian kanan korban. Ada dua lubang bekas gigitan yang jelas terlihat di leher korban. Tangannya menyingkap baju korban lebih ke bawah tepatnya di tulang selangka bagian kanan. Namun tidak ada tattoonya. Ia beralih ke tulang selangka bagian kiri. Ada tattoo helai sayap phoenix di sana.

" Udagaki sensei , apa tattoonya ada di bagian kiri semua? " tanya Runa tanpa melihat ke arah Miura sedikitpun.

" Entahlah . Bagaimana menurut catatanmu , Sean? " Miura menatap Sean yang nampak sibuk membolak-balik notenya.

" Tidak. Korban pertama di kanan , korban kedua di kiri . Tattoonya berganti tempat tergantung urutan korban. Untuk yang ganjil ada di kanan, dan kiri untuk yang genap," jelas Sean.

" Oh, begitu. " Runa bangkit dan berjalan menjauh.  "Aku pergi sensei, mungkin pembunuhnya belum jauh. Dia akan melambat kalau terlalu kenyang." Sebelum sempat ditanggapi , Runa sudah menghilang.

" Apa boleh buat , midget benar, " kata Sean seraya berlari mengejar Runa . Rave menyusul di belakangnya.

" Bocah-bocah itu terlalu bersemangat, " kata Miura sebelum memerintahkan anak buahnya menyisir setiap tempat.



Runa berlari cepat menyusuri jalan setapak yang ada di samping balai desa. Jalan itu membawanya ke dalam hutan, Sorrowforest. Ia tetap berlari jauh ke dalam hutan walau terkadang ia berhenti karena stiletonya menancap di tanah basah. Ia tidak tahu kenapa ia menyusuri jalan ini. Ia hanya menuruti apa kata hatinya saja.

" Hah? Apa yang ku lakukan? " gumamnya pelan, sambil mengatur nafasnya yang terengah-engah. Ia memperhatikan sekitarnya dengan cermat. Tidak ada apapun kecuali kegelapan yang membayang di balik pepohonan. Ia menyeka keringat yang menetes dari keningnya. Beberapa bulir keringat mengalir sampai ke matanya. Ia memejamkan matanya yang terasa perih.

Srett! Tubuhnya menegang saat merasakan ada yang lewat di dekatnya. Dengan cepat ia berbalik ke arah dimana ia merasakan sesuatu tadi berasal. Dari matanya yang belum bisa melihat dengan jelas, ia menangkap sesuatu yang menyerupai manusia bergerak cepat ke arahnya. Brugh! Belum sempat ia menghindar, sosok itu sudah menabraknya dengan keras.

Bugh! Krasakk! Tubuh Runa jatuh menimpa dedaunan kering dengan sosok itu tepat di atasnya. Lengan tangan bagian atas Runa tergores bebatuan. Membuat gadis itu meringis kesakitan.

Deg! Deg! Deg! Jantung Runa berdetak kencang saat matanya bertemu pandang dengan sosok itu. Amethyst violet kemerahan bertemu hazel semerah darah. Keduanya terdiam tetap pada posisinya. Saling menyelami mata masing-masing. Jantung Runa terus berdetak tak terkontrol. Darahnya mengalir menuju ke wajahnya, dengan cepat membuat wajah cantik itu merona merah.

Tes! Suara tetes darah dari luka gores di lengan Runa , memecah keheningan. Keduanya mengerjapkan matanya bersamaan. Cahaya rembulan yang bersinar menerobos melewati pepohonan menerpa wajah Runa . Membuat sosok itu terpaku pada Runa . Sementara Runa tak bisa melihat apapun dari siluet sosok itu kecuali ketajaman mata dan kenyataan kalau sosok itu adalah vampire laki-laki. Tidak ada makhluk lain yang mempunyai iris mata semerah mata vampire. Dan tidak ada tubuh seberat itu kecuali tubuh laki-laki. Ia juga merasakan samar-samar otot sixpack di perut vampir itu. Memikirkan hal itu membuat wajahnya semakin memerah. Bagaimana mungkin ia memikirkan hal itu di saat nyawanya mungkin terancam.

" Kau vampire? " tanya Runa dengan suara tercekat. Sosok itu diam saja. Ia tetap menatap Runa dengan tajam. Mengamati wajah cantik Runa yang memerah. Namun tiba-tiba tangannya secara naluriah terangkat menuju luka gores di lengan Runa. Dengan sihir ringan, ia mengobati luka itu. Walaupun ia sudah tak mampu menahan rasa hausnya, ia tak berniat menggigit Runa . Ia merasa tak tega . Selain itu minum bukanlah tujuannya saat ini.

" Aku bertanya pada-mu. Apa kau vampir yang membunuh mereka?" ulang Runa dengan pertanyaan yang hampir sama. Ia hanya menambahkan sedikit pertanyaan yang menganggu pikirannya. Sosok itu tersenyum manis. Membuat rona merah makin terlihat di wajah Runa . Sosok itu tak menjawab. Tangannya bergerak cepat melonggarkan dasi yang dikenakan Runa . Tangan dinginnya menelusuri leher Runa bagian kiri. Tatapannya terpaku pada mata Runa. Membuat gadis itu diam tak berkutik. Membuat gadis itu tahu betapa hebatnya kemampuan vampir dalam mempesona manusia.

" Ya, aku memang vampir, " gumam sosok itu pelan. Ia memang tak berniat menggigit Runa, namun saat melihat wajah Runa yang merona merah, ia menjadi lost control. Ia menjadi sangat haus. Ia semakin tak tahan untuk segera minum.

"Tapi sayang, aku bukan pembunuh yang kau cari. Kau tahu, sepertinya kita mencari vampir yang sama. " Runa tercekat saat taring tajam sosok itu terlihat ketika sosok itu menyeringai lebar. Ia tak bisa mengelak lagi saat sosok itu mendekatkan kepalanya ke arah lehernya. Ia menahan nafas saat hembusan nafas dingin sosok itu menerpa lehernya. Nafas itu terasa menggelitik kulit lehernya . Ia mendongakkan kepalanya saat sesuatu yang basah dan lembut menjilat lehernya. Jantungnya mulai berdetak semakin kencang. Tubuhnya mulai terasa merinding. Ada yang bergejolak dalam hatinya. Jleb! Ia memejamkan mata saat taring itu menembus kulitnya. Dan ia memalingkan wajahnya ke arah kanan saat kedua taring tajam itu terasa semakin dalam menancap di lehernya. Ia bisa merasakan volume darahnya tersedot keluar. Kepalanya pening dan pandangan matanya mulai kabur. Pikirannya mulai kalut jika tersadar nanti ia sudah di alam lain. Ia takut, sangat takut untuk pertama kalinya.

" Apa kau- " Sebelum mendengar penuturan sosok itu lebih jauh, Runa sudah jatuh pingsan. Hal terakhir yang ia lihat adalah tangan dingin yang mengusap pipinya.

" -baik-baik saja? " bisik sosok itu saat ia sudah selesai meminum darah Runa . Ia mengangkat kepalanya dan menemukan Runa dalam keadaan pingsan. Ia tersenyum kecil sebelum menjilat bibirnya. Membersihkan sisa darah yang tertinggal di bibirnya. Ia menatap wajah terlelap itu lekat-lekat. Ia tidak tahu kenapa wajah itu begitu menarik di matanya. Ia mengalihkan pandangannya ke badge nama di seragam Runa.

" Padahal aku hampir berhasil menahan rasa hausku selama 1 bulan penuh. Tapi kau membuatku sangat haus, Nona Runacathra Fukuzawa." Sosok itu tersenyum manis. Ia menyentuh luka bekas gigitannya. Dalam sekejab luka itu menghilang. Begitu pula bekas darah yang sebelumnya mengotori seragam gadis itu. Ia beralih menyentuh kening gadis itu. Sinar merah berpendar beberapa detik sebelum kembali hilang.

" Kau harus melupakanku. Anggap malam ini kita tidak pernah bertemu. " Ia tersenyum kecil sebelum merapikan dasi dan kerah baju Runa . Ia tidak mau dihukum karena kesalahan kecilnya yang melanggar aturan Seven Rules. Ia tidak bisa memastikan apa gadis itu ikhlas memberikan darahnya atau tidak. Walaupun gadis itu tidak mengelak saat dia menggigitnya. Namun akan jauh lebih mudah jika ia menghapus ingatan gadis itu. Jadi ia tidak perlu membuat beban di pikiran gadis itu. Ia beranjak dari posisinya yang menindih Runa . Ia berjongkok di dekat tubuh Runa .

"Terima kasih, Nona. darahmu manis sekali, " gumam sosok itu pelan. Ia mengusap kening Runa . Menyibak poni yang menutupinya. Ia menghirup nafas dalam-dalam. Aroma Amaryllis memenuhi indra penciumannya. " Amaryllis . Entah kenapa wangimu sangat menggoda bagiku." Sosok itu meraih pergelangan tangan kanan Runa. Membuat pola khusus di sana. Pola phoenix kecil yang hanya bisa dilihat olehnya.

" Aku tidak berniat menandaimu tapi aku ingin melakukannya. Maaf jika kau merasa keberatan. Suatu saat aku akan menghapusnya jika kau memintanya padaku. Sampai jumpa, Runa ."

Sosok itu meletakkan tangan Runa kembali ke atas dedaunan kering. Ia beranjak dari posisi jongkoknya. Ia menatap wajah Runa lama-lama sebelum beranjak pergi. Meninggalkan gadis yang tak sadarkan diri itu sendirian. Tak lama setelah vampir itu pergi, Runa terbangun dari pingsannya. Ia menatap sekelilingnya dengan bingung dan heran. Kepalanya masih pusing. Matanya masih agak buram. Hanya kegelapan yang dapat ia lihat.

" Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini ? " gumamnya pelan.

"Runa, kau tidak apa-apa?" tanya Rave sambil duduk berjongkok di dekat Runa.

" Hah? " Runa menatapnya dengan bingung. Ia berdiri dengan bantuan Rave. Kepalanya masih sedikit pening. "Ya, aku rasa begitu. Sepertinya aku terjatuh tadi."

" Yakin? Sebaiknya kau pulang. Sudah hampir pagi. Aku akan mengantarmu pulang," kata Rave sambil tetap memegangi tubuh Runa . Ia masih khawatir dengan keadaan Runa yang sepertinya masih linglung.

"Em , tidak perlu repot-repot, senpai, " elak Runa masih dengan pandangan yang pening .

" Tidak apa-apa. Aku tidak merasa direpotkan. " Rave tersenyum lembut. Runa tak bisa menolaknya karena Rave sudah memapahnya berjalan. Tangannya sudah melingkar di bahu Rave. Dan tangan Rave pun sudah melingkari pinggangnya.

" Kenapa kamu bisa ada di sini? " tanya Runa sambil menatap wajah Rave.

" Kebetulan. Tadi aku mengejar vampir. Dia berlari ke tempatmu berada tadi. Apa kau melihatnya? " Runa terdiam lama sebelum akhirnya menggeleng pelan. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi tadi, tapi ia tidak bisa mengingatnya sedikitpun.

" Aneh. Sepertinya dia vampir yang hebat, " gumam Rave. Runa tak menanggapinya lagi. Ia merasa benar-benar lelah. Apa mungkin gara-gara ia hanya makan mie instan malam ini?




Back-yard of Northless Palace, 3 a.m.


Seorang laki-laki berjalan pelan menyusuri jalan setapak di taman belakang istana. Mantel hitam yang membalut tubuhnya menjuntai sampai ke tanah yang tertutupi dedaunan maple kering. Rambut hitam kemerahannya yang acak-acakan dimainkan angin musim gugur yang nakal. Helai-helai rambutnya terkadang menutupi matanya. Rambut bagian belakang memanjang melewati batas kerah kemeja. Namun ia nampaknya tak berniat untuk memotongnya.

Krasak!

Mata beriris coklat keemasannya melirik ke arah belakangnya sekilas. Ia kembali sibuk menikmati pemandangan musim gugur di pagi buta. Wajah tampan dengan garis wajah tegas dan kulit pucatnya menampakkan ekspresi datar tanpa emosi. Hanya sesekali bibir tipisnya melengkungkan senyum kecil karena mengingat apa yang baru terjadi tadi.

"Yamada-sama, anda darimana saja? " tanya Marlion Jurotsuchi . Pemuda berambut hitam pekat itu berjalan pelan tepat di belakang laki-laki yang ia panggil 'Yamada-sama'. Mata beriris coklat kemerahannya menyiratkan kekhawatiran.

"Sudahlah, Marlion. Aku tidak suka dengan panggilan itu. Aku juga tidak suka gaya formalmu itu. Bisa kah kau bersikap normal seperti biasa? " tandas Yamada dengan nada datarnya.

" Ya, asal kau tidak kabur seenakmu sendiri, " sahut Marlion. Ia menyunggingkan senyum liciknya.

" Aku hanya menyelidiki beberapa hal sekaligus jalan-jalan mencari udara segar, " elak Yamada singkat. Ia menyibukkan diri dengan menatap rembulan di langit. Melihat sinar terangnya, ia jadi teringat pada gadis itu.

" Eh? Baumu aneh, Yama, " cetus Marlion tiba-tiba. Ia mencium bau yang tidak biasanya menguar dari tubuh Yama .

"Hnnn? Apa maksudmu? " tanya Yama tanpa mengalihkan tatapannya dari rembulan. Ia mulai berfantasi aneh. Ia merasa telah melihat wajah gadis itu terlukis di bulatnya rembulan.

" Tidak biasanya kau memakai parfum ini. Biasanya jeruk lemon atau melon kan? " Marlion menatap Yama tajam. Ia meminta penjelasan pasti dari teman baiknya itu. Apa temannya sudah berubah selera ? Atau ada hal lain yang menyebabkan bau Yama berubah.

" Tidak, aku- " Ucapan Yama terhenti saat ia mencium tangannya. Lantas ia mencium mantelnya untuk lebih memastikan aroma yang menguar kuat dari tubuhnya. Wangi yang berbeda. Padahal seingatnya, ia memakai parfum jeruk lemon hari ini.

" Amaryllis ? " sahut Marlion. Ia menatap temannya dengan tatapan geli. " Kau gagal kan? Aku yakin kau baru saja minum. Masih ada aroma darah yang manis dari bibirmu. " Yama terdiam . Ia menatap Marlion dengan tatapan datar. Seulas senyum simpul mengembang di bibirnya. "Hmm, begitulah. Ada darah yang sangat menggoda tadi."Marlion tertawa geli.

"Sudah ku duga kau akan gagal. Sebaiknya hentikan percobaan anehmu itu. Kau tidak bisa merubah kebiasaan kita untuk minum darah setiap hari dari tablet darah dan maksimal 1 mangsa setiap minggu. Kita adalah vampir dan darah adalah makanan utama kita."
Yama tersenyum sinis. "Aku hanya mencoba hal baru."

" Terserah kau saja. " Marlion menendang-nendang dedaunan kering tanpa semangat. "Jadi apa kau berhasil menangkapnya?"

" Tidak. Tapi aku kenal aroma mereka. "

" Mereka? Maksudmu lebih dari satu? " serbu Marlion cepat.

" Ya. Mereka itu teman kita. Aku akan memastikan semuanya pada mereka. Pasti ada alasan untuk ini semua. "

" Ya, pasti untuk menghidupkan dia, " gumam Marlion pelan.

" Dia? " tanya Yama.

" Ya, tentu saja Arthur-sama , pemimpin klan Kurochiki sebelum Sho-sama. Keadaan tak menyenangkan di kerajaan ini membutuhkan lebih dari satu vampir murni. Apalagi putri Arthur-sama menghilang. Sho-sama tidak mengatakan apapun mengenai itu. " Marlion melirik cemas ke arah Yama saat mengatakan putri Athur-sama menghilang. Ia merasa lega dengan ekspresi datar Yama yang tidak berubah.

"Memangnya Paman Arthur mempunyai anak ? " tanya Yama heran. Ia sama sekali tak ingat kalau paman Arthur-nya memiliki anak.

" Ya, kemungkinan besar sudah tewas, " gumam Marlion pelan. Ia tak ingin meneruskan pembicaraan berbahaya ini.

" Jadi itu alasan kenapa harus paman Arthur yang dihidupkan? Karena jasad putrinya tidak ada? "

" Mungkin. "



Hunter's Rules
1 "Don't kill vampire after 12 p.m."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar