Senin, 12 Maret 2012

The Last Pure-Blood Vampire || The Forbiden Experiment part 2

Author : Haru Yamada .

Genre : Vampire .

CAST : Runacathra Fukuzawa As Yamashita Haruna .
             Seihan Kojichiru As Melinda Anindya .
             Miura Udagaki as Yabu Kouta ,
             Riiku Fukuzawa as Sakurai Sho .
             Yamada Ryosuke as Himself .
             Merlion Jurotsuchi as Chinen Yuri .
             Rolfer Yamada as Keito Okamoto .
             Mariya Matjishi as Nishiuchi Mariya


"Runa , ku kira kau tega membunuhnya. Hah, syukurlah," gumam Sean lega saat menyadari moncong pistol tidak di kepala Mariya lagi. Melainkan ke arah perbatasan hutan Sorrowforest di dekat asrama Hunter.

Wajah Runa tetap kaku dan terlihat jelas ia marah. Ia menatap tajam ke arah perbatasan dimana seorang gadis tergeletak di tanah dengan seorang vampir terduduk di dekat gadis itu sambil memegangi lengan yang nampaknya terkena peluru. Ia berlari dengan cepat sambil menembakkan peluru kedua, tapi meleset.

"Sial," umpatnya kesal. Ia segera menghampiri gadis berambut pirang yang ia kenal. Gadis itu tergeletak tak berdaya di atas tanah.

"Seihan," panggilnya pelan. Ia menatap seihan dengan cemas. Ia menegakkan kepala Seihan dan melihat lehernya. Terlambat. Seihan sudah digigit. Darah masih mengalir dari lubang bekas gigitan vampir itu. Runa segera memeriksa nadinya di leher Seihan. Masih berdenyut tapi lemah.

Rave dan Sean masih terpaku dengan apa yang mereka lihat. Rave tersadar lebih dulu dan segera mengejar Runa. Disusul kemudian Sean. Sementara Mariya masih berdiri tak bergerak karena shock.

"Ah, ya ampun. Kepala...kepalaku masih utuh, ah, aku takut sekali. Argh! Dia gila, ibu!" celoteh Mariya tak jelas. Ia sibuk memegangi kepalanya tanpa menyadari Rave dan Sean sudah pergi.

"Runa," panggil Rave. Runa menoleh. Ia menatap Rave dengan air mata yang menganak sungai di pipinya. "R-rrave..ban-tu aku. A-antar Seihan ke rumah sakit." Rave terhenyak kaget melihat Runa begitu terguncang. Ia tidak pernah melihat Runa seperti ini. Tak berdaya sama sekali. Ia jelas melihat tangan Runa bergetar. Tapi sepertinya gadis itu berusaha tetap tegar melihat sahabatnya terluka.

"Tenanglah," kata Rave pelan. Ia menggenggam tangan Runa yang bergetar hebat. Berusaha keras menenangkan gadis itu.

"Rave, tenangkan Runa. Biar aku yang bawa Seihan," kata Sean tiba-tiba. Ia langsung mengangkat tubuh Seihan dan membawanya menuju Horikoshi Hunter Hospital dengan tergesa-gesa. Wajahnya terlihat pucat. Jelas sekali kalau ia sangat cemas.

Rave mengernyit heran. Ia menatap punggung Sean dengan bingung. Kenapa Sean bersikap sepanik itu? Ia mengesampingkan masalah itu. Ia segera membantu Runa berdiri dan menuntunnya mengikuti Sean.

"Seihan akan baik-baik saja. Percayalah padaku, Runa."


§



Hunter 'ELF' Hospital, 11 p.m.


Runa dan Sean terus berjalan mondar mandir secara berlawanan. Runa melakukannya sambil menggigiti kukunya sedangkan Sean sambil mengacak-acak rambutnya. Mereka gelisah menunggu kabar dari dokter.

"Hei, kalian berdua jangan mondar mandir seperti itu. Kalian membuatku pusing," keluh Rave yang sejak awal hanya duduk melihat kedua temannya berjalan mondar mandir tak jelas.

"Maaf." Kata maaf dengan mudah diucapkan keduanya. Sean mengatakannya sambil mengangkat tangan kanannya sementara Runa sambil membungkuk sekilas. Rave berusaha keras menahan kekesalannya. Ia mulai memikirkan alasan penyerangan. Apa mungkin ada hubungannya dengan pelaku kejahatan yang menjadi buronan dalam misi yang baru didapatkan Runa?

"Runa, apa menurutmu penyerangan Seihan termasuk dalam misimu?" tanya Rave tiba-tiba. Ia menatap Runa sambil menyangga dagunya dengan kedua tangannya.

Runa berhenti mondar mandir. Begitu pula Sean. Ia menatap Rave dengan tatapan seolah berkata 'apa kau gila menanyakan hal itu di saat seperti ini'.

"Tidak, bukan pelaku kejahatan yang sama. Seihan tidak mempunyai golongan darah O. Dan waktu penyerangan berbeda. Pada saat inilah dia menyerang. Aku pasti menemukan vampir itu bagaimanapun caranya," kata Runa menjelaskan jawabannya.

"Bagaimana caranya?" tanya Sean entah pada siapa.

"Setahuku pelakunya terkena tembakanmu, Runa. Kalau tidak salah di lengan kanan," jawab Rave.

"Ya, luka itu tidak akan hilang. Anggap saja itu penanda pelakunya," tambah Runa.

"Kalau pelakunya tertangkap, beritahu aku. Aku akan mematahkan lehernya," sahut Sean.

Runa menatap Sean dengan tajam. Ia memberikan tatapan curiga yang benar-benar mencolok. Rave yang melihatnya pun ikut penasan. Ia yakin pertanyaan yang mengganggunya tadi akan segera terjawab.

"Apa? Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang aneh?" tanya Sean pada akhirnya. Ia merasa tidak nyaman ditatap seperti itu oleh Runa.

"Ya. Ada yang aneh," tandas Runa tetap dengan tatapan tajamnya.

"Apa?" tanya Sean.

"Kau!"

"Hah?" Sean melotot pada Runa. Ia tak mengerti kenapa Runa menuduhnya bersikap aneh. "Apa yang aneh padaku? Aku merasa baik-baik saja."

"Kau! Sejak kapan kau kenal Seihan ? Kenapa kau secemas ini pada keadaannya? " tuduh Runa sambil menunjuk-nunjuk Sean.

"Eh, itu, aku... Memangnya kenapa? Di-dia kan temanku," kata Sean dengan gugup.

Runa menyeringai licik. Sepertinya ia menyadari sesuatu. "Teman? Aku tidak pernah melihat kalian berbicara. Ah, apa kau tahu kalau dia punya pacar? "

"Hah! Siapa?" seru Sean cepat. Ia merasakan luka menggores hatinya begitu tahu kalau Seihan sudah mempunyai kekasih.

Runa tertawa kecil dan menepuk pundak Sean. "Baru calon pacar. Namanya Sean Kotatsuki. Nah, aku titip dia padamu. Aku mau pulang. Aku harus mempersiapkan barang-barang untuk misiku besok. Bye."

Sean masih melongo di tempat. Ia bingung dengan maksud Runa. Ia masih memproses kalimat Runa dengan kecepatan super lambat. Sementara Runa sudah menghilang di ujung koridor setelah berpamitan pada Rave dan meminta Rave menghubunginya kalau ada kabar tentang Seihan.

"Ca-lon pacar? Sean Kotatsuki? Ja-jadi Seihan...," ulang Sean dengan bingung. Sekian lama berpikir, ia baru menyadarinya. "Eh! Tunggu dulu! Sean Kotatsuki kan namaku!"

Rave yang melihat tingkah aneh Sean hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia heran kenapa dia bisa berteman baik dengan Sean yang super lemot ini. Ia segera berdiri dan menepuk pundak Sean sampai pemilik pundak menoleh.

"Kau memang bodoh. Aku pulang dulu ya. Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi aku," kata Rave.

"Bodoh? Siapa?" Sean masih terserang penyakit lemotnya hingga ia begitu telat memproses apa kata Rave. Saat ia sudah menyadari apa maksud Rave, ia langsung berteriak kesal. "Rave! Aku tidak bodoh! Kau yang bodoh!"

"Tsutt! Jangan ribut!" Peringatan tajam dari para suster melengkapi kesialan Sean. Buru-buru ia menunduk meminta maaf.

"Sial, aku benar-benar sial hari ini," gumamnya kesal.


Fukuzawa's House, Orbitary Village, 2 a.m.


"Ru-chan, setiap hari kau harus menelepon ayah. Jangan lupa," kata Riiku.

Runa yang sedang membereskan pakaian untuk misinya hanya mengangguk samar. Ia bingung harus membawa baju jenis apa.

"Oya, Miura bilang kau akan tinggal bersama salah satu klan. Tapi dia tidak mengatakan dengan jelas klan mana," kata Riiku. Ia melihat-lihat barang bawaan Runa dengan penuh minat.

"Hem, aku dengar juga begitu. Udagaki Sensei bilang dia akan mengatakannya sebelum aku berangkat," sahut Runa. Ia kembali menimbang-nimbang dua benda di tangannya setelah mengatakan itu. Dua benda yang sama tingkat keanehannya. Seingatnya ia tak punya benda seperti itu. Setelah berpikir lama, akhirnya ia tak membawa keduanya. Ia sudah akan meletakkan kedua benda itu ke atas meja tapi ayahnya berteriak cukup keras.

"Jangan! Bawa benda itu!" Riiku menarik paksa kedua benda itu lalu memasukkannya ke dalam koper Runa.

"Ayah! Benda apa itu? Aku tidak membutuhkannya," sergah Runa.

"Tidak! Kau akan sangat membutuhkannya, Ru-chan."

"Untuk apa benda aneh itu?" tanya Runa dengan nada sarkatis.

"Biar ayah jelaskan. Pertama benda ini." Riku mengambil kembali benda menyerupai topi lebar yang tadi ia masukkan ke dalam koper Runa. Ia menunjukkan topi itu dengan penuh semangat pada Runa.

"Ini namanya Sun Protection Hat. Ini akan melindungimu dari sinar matahari saat kau menjadi vampir agar wajahmu tidak pucat."

Runa menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Ayah, sejak kapan vampir takut sinar matahari. Mereka cukup menyukainya karena mereka ingin kulit pucat. Yeah, walaupun hanya beberapa menit mereka terekspose sinar matahari secara langsung. Lagipula aku bisa mengenakan kacamata atau berlindung di dalam ruangan daripada mengenakan itu. Waktu penyelidikan yang ku gunakan adalah malam bukan siang. Mereka tidak beraktivitas banyak pada siang hari. So I don't need this, Dad."

Riku nampak kecewa walaupun apa yang dikatakan Runa benar. Tapi semangatnya kembali muncul saat menunjukkan benda lain berbentuk tongkat silinder dengan panjang 30 cm dan diameter 3 cm. "Ah, bagaimana kalau benda yang satu ini. Namanya Attack Stick. Alat ini bisa mengalirkan listrik. Kau akan sangat membutuhkannya saat vampir menyerangmu saat tidur."

Runa berdecak kesal. Alat dari ayahnya sangat konyol. Bagaimana mungkin ada yang akan menyerangnya saat tidur? "Ayah, look at me and listen to me."

Runa menatap ayahnya dengan lembut. Ia menggenggam tangan ayahnya erat-erat. "I can take care of myself. Aku akan baik-baik saja, ayah. TRUST ME." Runa menekankan kata-kata terakhirnya .

Riku terdiam. Ia tahu kalau Runa bisa menjaga dirinya sendiri. Namun ia tak bisa melepas Runa begitu saja ke kandang singa tanpa bantuan peralatan apapun. Ia tak tega dan tak rela melakukan hal itu.

"Ru-chan, kau tahu betapa ayah sangat menyayangimu. Ayah tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu. Ayah hanya...."

"I know . Tapi percayalah padaku, ayah. I'm PROMISE , I'm gonna be fine ."

"Ya, aku percaya. Tapi tetap hubungi ayah kalau sesuatu terjadi padamu. Apapun itu." Runa tersenyum simpul. Ia memeluk ayahnya erat-erat. Mungkin ini akan menjadi pelukan terakhirnya dengan sang ayah sebelum akhirnya dia berubah.

Runa tahu kepergiannya besok akan terasa sangat berat. Di satu sisi, ia ingin mencari pelaku pembunuhan yang membuat heboh. Tapi di sisi lain, ia tak tega meninggalkan ayahnya sendirian. Walaupun selama ini ayahnya memang sendirian karena ia tinggal di asrama. Namun tetap saja berat baginya untuk meninggalkan ayahnya. Selain itu, Seihan masih sakit. Ia mengkhawatirkan sahabatanya itu. Walaupun Sean akan setia menjaga Seihan. Terakhir, ia tak akan bisa menatap wajah Rave yang selalu mengusik otaknya. Apa ia sanggup hidup jauh dari orang yang ia sayang?

§


Centerene Palace


Angin berhembus bebas di luar mansion utama Centerene Palace. Dedaunan kering beterbangan sampai di koridor luar mansion. Terkadang, angin berhembus kencang. Menggoyangkan pepohonan dan menabrak pintu geser hingga menimbulkan suara berisik. Berbeda dengan suasana hening di dalam sebuah ruangan mansion. Seorang wanita berambut hitam panjang duduk bersimpuh di samping tuannya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menunjukkan rasa hormatnya pada tuannya.

"Anda yakin akan melakukannya, Jiro-sama?" tanya Bianca-wanita berambut hitam itu dengan pelan. Ia masih menundukkan kepalanya dengan hormat.

"Apa kau meragukanku, Bian?" tanya Jiro dengan nada datar. Ia tidak melihat Bianca sedikitpun. Ia sibuk menyeduh teh hijau kesukaannya.

"Tidak. Tentu tidak, Jiro-sama. Maafkan saya karena telah lancang menanyakannya." Bianca semakin menundukkan wajahnya. Ia merasa sangat bersalah. Ia sama sekali tak bermaksud meragukan rencana tuannya. Ia hanya takut kalau takdir tidak berpihak pada klan Kurochiki. Ia takut kalau penerus klan yang selama ini mereka jaga akan berada dalam bahaya jika ada di tempat dimana dia seharusnya berada.

"Maaf atas kelancangan saya, Jiro-sama. Saya pantas mendapat hukuman," kata Bianca dengan penuh rasa hormat.

Jiro tersenyum sekilas. "Tidak apa-apa. Aku tahu kau mencemaskan dia. Aku tahu kau takut jika usaha kita selama ini akan sia-sia. Aku juga merasakan hal yang sama."

Bianca mendongakkan kepalanya dengan cepat karena kaget akan apa yang dikatakan Jiro. "Jiro-sama..."

"Tapi aku tetap percaya pada takdir seperti aku percaya pada kakakku sepenuhnya. Walaupun sering aku merasa kalau takdir sedang mengujiku. Tapi kata-kata kakak membuatku yakin."

Bianca kembali menundukkan kepalanya. Ia tahu kalau tuannya belum selesai bicara. Sebagai pelayan, ia hanya berhak melakukan apa yang diperintahkan tuannya.

"Saat Felicita mengatakan ramalan itu pada kakakku, aku bisa melihat wajah kakakku tetap tenang. Ia tidak terkejut sama sekali. Dengan tenang dia berkata, 'Aku tahu. Aku percaya takdir dan aku yakin takdir akan memberikan jalan terbaik untukku.' Aku sempat kaget mendengarnya, tapi aku berpikir itu sangat konyol. Hingga kakakku mengajarkan padaku kalau semua orang memiliki takdirnya sendiri-sendiri. Kali ini aku akan diam menunggu takdir untukku, untuk klanku ."

§



Northless Palace


Aula utama kerajaan terlihat ramai. Semua pemimpin klan dari semua klan di kerajaan Vampir telah berkumpul di sana. Mereka menunggu pengumuman dari sang Raja.

"Mohon perhatian pada semua pemimpin klan. Raja akan segera menyampaikan pengumuman penting," kata Adolph.

Semua yang ada di dalam ruangan terdiam. Mata mereka tertuju pada Raja mereka, Yuta. Semua menunggu sang Raja menyampaikan pengumuman.

"Aku sudah mendengar tentang penyerangan Vampir Mud-Blood di pinggiran kota Furishi. Aku juga mengucapkan selamat pada Damon Yamaichi atas keberhasilanmu mengatasi mereka. Aku hadiahkan Lily Yon padamu," kata Yuta dengan penuh wibawa.

"Terima kasih, Yang Mulia," kata seorang pria berambut cokelat sambil sedikit membungkuk. Mata beriris merahannya berkilat sombong. Sementara pemimpin klan lain hanya mengucapkan selamat.

"Satu lagi yang ingin ku sampaikan. Besok akan datang tamu istimewaku dari Tosakyo city. Dia akan tinggal di Centerene Palace selama ia ada di sini," kata Yuta.

"Yang Mulia, apakah tamu Jiro-sama adalah manusia? Bukankah itu sangat membahayakan baginya bila ada di sini?" tanya seorang pemimpin klan yang duduk di kursi paling ujung sebelah kanan.

"Yang Mulia, bukankah Centerene Palace tertutup untuk umum? Lalu kenapa anda menempatkan tamu anda di sana?" sambung pemimpin klan lain.

Yuta tersenyum simpul. Sama sekali tak menjawab pertanyaan dari pemimpin klan. Matanya menatap lurus ke arah pintu masuk aula utama.

"Selamat datang, Kurochiki-san," sambut Yuta dengan ramah.

Semua mata memandang ke arah pintu utama. Mereka menghujami beberapa sosok di hadapan mereka dengan tatapan bingung, kaget dan penasaran. Sang pemimpin klan Kurochiki yang datang ditemani pelayan-pelayan setianya.

"Bagaimana mungkin dia menghadiri pertemuan ini?" batin pemegang Lily Yon. Dengan sedikit angkuh ia berdiri dan menyapa Jiro. "Ada apakah gerangan yang membuat Kurochiki-san berkenan hadir di pertemuan ini?"

Jiro tak mempedulikannya. Ia berjalan lurus menuju kursi yang paling dekat kursi Raja. Ia langsung duduk tanpa berbasa-basi pada sekitarnya. Ia tetap memasang wajah datar tanpa ekspresi.

"Aku sengaja meminta Jiro-san untuk datang karena ada hal penting menyangkut klan Kurochiki," kata Yuta.

Jiro tersenyum dingin. Ia membungkuk sekilas pada Yuta. Mata coklat terangnya menatap lurus ke arah Damon Yamaichi. Ia memang mempunyai kesentimentilan khusus pada Damon. Karena Damon lah vampir yang selalu menekan klan Kurochiki untuk memurnikan semua vampir setelah munculnya vampir murni yang terpilih.

"Aku hanya memenuhi undangan Yuta-sama. Aku tidak keberatan pada permintaannya. Aku yakin tamu Yang Mulia akan aman di mansionku. Satu vampir murni lebih dari cukup untuk menjaga seorang tamu Raja."

Kalimat itu seakan membungkam semua vampir yang ragu. Mereka tahu betapa hebatnya klan vampir berdarah murni Kurochiki.

"Jadi apakah tamu Yang Mulia benar-benar seorang manusia?" tanya Damon Yamaichi. Tatapan matanya tertuju pada Jiro yang duduk tak jauh hadapannya.

"Kau akan segera mengetahuinya, Yamaichi-san," kata Yuta dengan tenang. Walaupun ia masih meragukan kalau dia adalah gadis manusia yang berkunjung kemarin sebagai utusan hunter. Kepastiannya akan terlihat besok.


§


Hunter's Rules
2 "Don't break the mission whatever have done."

$$$$$$$$$

Tidak ada komentar:

Posting Komentar